Wanita Karir dan Karir Wanita*
Oleh : Andi Purwanto
“…Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang!
Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik,
dan jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha
menyusun Negara Nasional” (Bung Karno)
1. Pendahuluan
Will Durant dalam bukunya yang berjudul “The Pleasuares of Philosophy”, sebagaimana ditulis Nasharuddin Baidan dalam bukunya “Tafsir bi Al – Ra’yi, “Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an”, mengatakan – setelah mengutip beberapa ide yang merendahkan wanita dari Aristoteles, Nietzsche, Schopenhauer dan beberapa dari kitab suci agama Yahudi tentang wanita – “Sampai sekitar tahun 1990 kaum wanita hampir tidak mempunyai satu hak apa pun yang harus dihormati kaum pria menurut hokum”.[1] Ucapan Durant itu memberikan gambaran bahwa kaum wanita di Barat dianggap tidak sederajat dengan kaum pria. “Karena itu, tulisnya lagi, “Mereka (kaum wanita) adalah tenaga kerja yang lebih murah dari kaum pria; para majikan lebih menyukai mereka sebagai pekerja dari pada kaum pria yang lebih mahal dan suka memberontak”.[2]
Pandangan dunia yang merendahkan derajat wanita seperti digambarkan itu agaknya terbentuk oleh cerita dongeng atau dalam Ilmu Tafsir disebut dengan “kisah isroiliyyat”, yang banyak diungkapkan di dalam kitab-kitab tafsir yang berasal dari ahli kitab. Oleh karena itu, umat menerima kisah itu dan mempercayainya sebagai kisah yang benar. Sebab mereka menganggap dari Tuhan, padahal kisah tersebut lebih dekat kepada dongeng dari pada kenyataan.
Wajar sekali, jika pemahaman tentang perempuan sebagai “second class” seolah menjadi senjata paling ampuh untuk mengibiri hak perempuan, dalam keterlibatan dan partisipasinya pada lingkungan yang lebih luas.
Wanita Sepanjang Sejarah
Yunani dan Romawi, dua bangsa yang dulunya dikatakan memiliki peradaban yang tinggi ini, ternyata menempatkan wanita tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Yunani, yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberikan hak waris. Wanita sepenuhnya tunduk dan hina di bawah kekuasaan pria secara mutlak.
Hindustan, dalam syari’at bangsa ini dinyatakan, bahwa angin, kematian, neraka, racun dan api tidak lebih jelek dari wanita.
Lanjut Yahudi, adalah bangsa dan agama yang menganggap bahwasanya wanita adalah makhluk yang terlaknat karena wanitalah yang menyebabkan Adam melanggar larangan Allah hingga dikeluarkan dari Surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap wanita derajatnya adalah sebagai pembantu dan ayah si wanita berhak untuk menjualnya.
Sementara saudara dekat Yahudi, yaitu Nasrani, Sekitar abad ke-5, para pemimpin agama ini berkumpul untuk membahas masalah wanita, apakah wanita itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya? Atau ia memiliki ruh? Dan keputusan akhirnya mereka menetapkan bahwa wanita itu tidak memiliki ruh yang selamat dari adzab neraka Jahannam kecuali Maryam ibunya Isa ‘alihis salam.
Kondisi Wanita di Dunia Barat
Dari sisi historis, terjunnya kaum wanita ke lapangan untuk bekerja dan berkarir semata-mata karena unsur keterpaksaan. Ada dua hal penting yang melatarbelakanginya:
Pertama, terjadinya revolusi industri mengundang arus urbanisasi kaum petani pedesaan, tergiur untuk menga-du nasib di perkotaan, karena himpitan sistem kapitalis yang melahirkan tuan-tuan tanah yang rakus. Berangkat ke perkotaan, mereka berharap menda-patkan kehidupan yang lebih layak namun realitanya, justru semakin sengsara. Mereka mendapat upah yang rendah.
Kedua, kaum kapitalis dan tuan-tuan tanah yang rakus sengaja mengguna-kan momen terjunnya kaum wanita dan anak-anak, dengan lebih memberikan porsi kepada mereka di lapangan pekerjaan, karena mau diupah lebih murah daripada kaum lelaki, meskipun dalam jam kerja yang panjang.
Kehidupan yang dialami oleh wanita di Barat yang demikian mengenaskan, sehingga menggerakkan nurani sekelompok pakar untuk membentuk sebuah organisasi kewanitaan yang diberi nama “Humanitarian Movement” yang bertujuan untuk membatasi eksploitasi kaum kapitalis terhadap para buruh, khususnya dari kalangan anak-anak. Organisasi ini berhasil mengupayakan undang-undang perlindungan anak, akan tetapi tidak demi-kian halnya dengan kaum wanita. Mereka tetap saja dihisap darahnya oleh kaum kapitalis tersebut.
Hingga saat ini pun, kedudukan wanita karir di barat belum terangkat dan masih saja mengenaskan, meskipun sudah mendapatkan sebagian hak mereka. Di antara indikasinya, mendapatkan upah lebih kecil daripada kaum laki-laki, keharusan membayar mahar kepada laki-laki bila ingin menikah, keharusan menanggung beban peng-hidupan keluarga bersama sang suami, dan lain sebagainya.
Ketika Elizabeth Blackwill – yang merupakan dokter wanita pertama di dunia – menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikot dengan dalih bahwa wanita itu tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika dokter ini, bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita di Philadhelpia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengecam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar disana.
Demikian selayang pandang sejarah kelam perjalanan wanita. Nah, situasi dan pandangan yang demikian tentunya tidak sejalan dengan petunjuk – petunjuk Al – Qur’an di dalam memposisikan wanita.
Bermula dari itulah, diskursus tentang karir wanita dan wanita karir era ini semakin menarik untuk dibahas dan dikupas. Sementara, lahirnya pemerhati wanita atau yang sering disebut dengan kaum feminisme, menjadi “supporter” yang sangat solid untuk mendukung kebangkitan generasi hawa ini. Promosi-promosi emansipasi dan persamaan hak disegala bidang terus digalakkan. Pengusungan tema-tema menarik tentang kesetaraan gender menjadi program unggulan kaum ini. Tidak sedikit wanita muslimah terkecoh olehnya, terutama bagi mereka yang tidak memiliki basic keagamaan yang kuat dan memadai.
Karena merupakan masalah yang urgen dan berimplikasi serius, maka perlu bagi kita untuk mengangkat tema tersebut. Semoga tulisan ini menggugah wanita-wanita muslimah untuk kembali kepada fithrah mereka. Amîn.
2. Kedudukan Perempuan dalam Pandangan Islam
Menyoal tentang kedudukan wanita, mengantarkan kita agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al Qur’an tentang asal kejadian perempuan. Karena kedudukan perempuan menurut pandangan islam tidaklah sebagaimana masyarakat sekarang imani. Pada hakikatnya, ajaran islam memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, sebagaiamana dikutip Qurash Syihab dalam bukunya Membumikan Al qur’an, menulis: “Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.”[3]
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: “Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari’at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.”[4]
Amina Wadud Muhsin, dalam buku Qur’an and Women, mengemukakanbetapa pentingnya analisis konsep perempuan dalam Al qur’an, yang diukur bersama dengan perspektif ayat-ayat Al Qur’an itu sendiri, baik ia sebagai kekuatan sejarah, politik, bahasa, kebudayaan, pikiran dan jiwa, maupun ayat-ayat Tuhan yang dinyatakan sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia. Melalui pengkajian ulang Al Qur’an berikut prinsip-prinsip keadilan social, persamaan manusia, dan tujuannnya sebagai pedoman, Amina berharap bisa mengajukan pandangan baru mengenai peran perempuan.[5] Ringkasnya, ia melakukan analisis terhadap makna dan konteks ayat Al qur’an, tentang kaum perempuan. Pembahasan masalah perempuan dari perspektif lain seperti ini, dilakukan hanya untuk mengungatkan kita, betapa pentingnya peran perempuan dalam zaman modern ini.
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu.
Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut kedudukan perempuan, dari segi (1) asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berkarir.
Asal Kejadian Perempuan
Secara tegas Al Qur’an menolak pandangan-pandangan tentang perbedaan asal kejadian perempuan dan lelaki. Antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa’ ayat 1
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya [[6]] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan:
Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan “buruk”-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Mengenai ‘tulang rusuk yang bengkok’ sebagai asal usul perempuan, sebagaimana disebut di dalam hadis riwayat Buhkari dan Muslim, ditanggapi oleh beberapa pemikir muslim, termasuk Quraish Shihab, sebagaimana dikutip oleh Nurjannah Ismail dalam bukunya “Perempuan dalam Pasungan”, menulis:
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[7]
Hak-hak Perempuan dalam berkarir (Memilih Pekerjaan) Menurut Perspektif Islam
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”. [8]
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Nama Khadijah binti Khuwailid, istri nabi pertama, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses dalam dibidang perdagangan. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli.
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan.
Adapun pembahasan menyangkut karir wanita dapat bermula dari surat Al Ahzab ayat 33
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[[9]] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Al Maududi, pemikir muslim Pakistan kontemporer dalam bukunya Al – Hijab, menulis : bahwa ahli qiraat dari Madinah dan sebagian ulama Kufah membaca ayat ini dengan ‘Waqarna’, dan bila dibaca demikian, berarti : “tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada di sana”. Sementara itu, ulama – ulama Bashrah dan Kufah membacanya ‘waqima’ dalam arti, “tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan hormat”. Sedangkan tabarruj yang dilarang oleh ayat ini adalah “menampakkan perhiasan dan keindahan atau keagkuhan dan kegenitan berjalan”.
Lebih lanjut, Al Maududi menjelaskan bahwa : “tempat wanita adalah dirumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada dirumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat memerhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.
Pendapat ini, oleh Qurasih Shibab dikomentari bahwa Al – Maududi tidak menggunakan kata “darurat” tapi “kebutuhuan atau keperluan”. Ini mengindikasikan bahwa ada peluang bagi wanita untuk keluar rumah. Persoalaanya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut? Misalnya, “bolehkah mereka bekerja?”
Menanggapi persoalan ini, beliau dalam bukunya wawasan Al Qura’an, menjawab dengan menulis pendapat Muhammad Quthb, salah seorang pemikir Ikhwan Al – Muslimin menulis, dari buknya¸Ma’rakat At Taqalid, bahwa ‘ayat ini bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena islam tidak melarang wanita bekerja. Hanya saja islam tidak senang (mendorong) hal tersebut, islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar’. [10]
Dalam bukunya, syubuhat Haula Al – Islam, Muhammad Qutbhb lebih lanjut menjelaskan : “perempuan pada zama islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
3. Kesimpulan
Mendasar pada asumsi-asumsi diatas, maka penulis lebih sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab, bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”. Dengan demikian, bisa diakatakan bahwa mereka (kaum wanita) adalah “Saqaiq Ar – Rijal” (Saudara sekandung kaum pria), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat diaktakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi dan tugas yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga perbedaan tersebut tidaklah mengakibatkan yang satu merasa lebih memiliki kelebihan dari pada yang lain. Allah berfirman :
32. Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
4. Penutup
Mari bersama-sama menyadari betapa agungnya agama kita di dalam setiap produk hukumnya. Ia akan selalu “sholeh” di dalam setiap masa dan tempat. Manusia harus sadar terhadap tugas dan tanggung jawab masing-masing, baik sebgai manusia itu sendiri, maupun sebagai laki-laki atau perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2007. “Membumikan Al Quran”. Bandung : Mizan.
———–2007. “Wawasan Al Qur’an”. Bandung : Mizan.
Ismail, Nurjannah. 2003. “Perempuan dalam Pasungan, Bias Laki-laki dalam Penafsiran”. Yogyakarta : Lkis.
Baidan, Nasharuddin. 1999. “Tafsir bi Al – Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Muhsin, Amina Wadud. 1992. “Qur’an and Women”. kuala lumpur: Fajar Bakti
*Disampaikan pada diskusi kelas (Selasa, 06 November 2012) mata kuliah Bahasa Indonesia
[1]Nasharuddin Baidan, Tafsir bi Al – Ra’yi, “Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an”,(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999) hal. 12 (lihat pula Murtada Mutahhari, The Right of Women In Islam, WOFIS, 1981 )
[2] Ibid.
[3] Quraish Syihab, membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 420. Lihat pula (Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu’attalat, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964, h. 138.)
[4] Quraish Syihab, membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 420. Lihat pula (Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-‘Amat lil Azhar, 1959, h. 193)
[5] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, (kuala lumpur: Fajar Bakti, 1992)
[6] Maksud ‘dari padanya’ menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[7] Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan,(Yogyakarta:Lkis,2003) hal. 241. Lihat pula ( Quraish Syihab, membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) hal.422
[8] Quraish Syihab, membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 429
[9] Ayat ini sering kali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita keluar rumah (berkarir). Al Qurthubi (w. 671 H) – yang dikenal sebagai salah seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum – menulis antara lain : “makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah. Walaupun redaksinya ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW, selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut”.