Archive for the ‘Uncategorized’ Category

wanita karir dan karir wanita

Posted: November 9, 2012 in Uncategorized

Wanita Karir dan  Karir Wanita*

Oleh : Andi Purwanto

“…Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang!

Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik,

dan jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha

 menyusun Negara Nasional” (Bung Karno)

1. Pendahuluan

Will Durant dalam bukunya yang berjudul “The Pleasuares of Philosophy”, sebagaimana ditulis Nasharuddin Baidan dalam bukunya “Tafsir bi Al – Ra’yi, “Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an”, mengatakan – setelah mengutip beberapa ide yang merendahkan wanita dari Aristoteles, Nietzsche, Schopenhauer dan beberapa dari kitab suci agama Yahudi tentang wanita – “Sampai sekitar tahun 1990 kaum wanita hampir tidak mempunyai satu hak apa pun yang harus dihormati kaum pria menurut hokum”.[1]  Ucapan Durant itu memberikan gambaran bahwa kaum wanita di Barat dianggap tidak sederajat dengan kaum pria. “Karena itu, tulisnya lagi, “Mereka (kaum wanita) adalah tenaga kerja yang lebih murah dari kaum pria; para majikan lebih menyukai mereka sebagai pekerja dari pada kaum pria yang lebih mahal dan suka memberontak”.[2]

 

Pandangan dunia yang merendahkan derajat wanita seperti digambarkan itu agaknya terbentuk oleh cerita dongeng atau dalam Ilmu Tafsir disebut dengan “kisah isroiliyyat”, yang banyak diungkapkan di dalam kitab-kitab tafsir yang berasal dari ahli kitab. Oleh karena itu, umat menerima kisah itu dan mempercayainya sebagai kisah yang benar.  Sebab mereka menganggap dari Tuhan, padahal kisah tersebut lebih dekat kepada dongeng dari pada kenyataan.

Wajar sekali, jika pemahaman tentang perempuan sebagai “second class” seolah menjadi senjata paling ampuh untuk mengibiri hak perempuan, dalam keterlibatan dan partisipasinya pada lingkungan yang lebih luas.

Wanita Sepanjang Sejarah

Yunani dan Romawi, dua bangsa yang dulunya dikatakan memiliki peradaban yang tinggi ini, ternyata menempatkan wanita tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Yunani, yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberikan hak waris. Wanita sepenuhnya tunduk dan hina di bawah kekuasaan pria secara mutlak.

Hindustan, dalam syari’at bangsa ini dinyatakan, bahwa angin, kematian, neraka, racun dan api tidak lebih jelek dari wanita.

Lanjut Yahudi, adalah bangsa dan agama yang menganggap bahwasanya wanita adalah makhluk yang terlaknat karena wanitalah yang menyebabkan Adam melanggar larangan Allah hingga dikeluarkan dari Surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap wanita derajatnya adalah sebagai pembantu dan ayah si wanita berhak untuk menjualnya.

Sementara saudara dekat Yahudi, yaitu Nasrani, Sekitar abad ke-5, para pemimpin agama ini berkumpul untuk membahas masalah wanita, apakah wanita itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya? Atau ia memiliki ruh? Dan keputusan akhirnya mereka menetapkan bahwa wanita itu tidak memiliki ruh yang selamat dari adzab neraka Jahannam kecuali Maryam ibunya Isa ‘alihis salam.

Kondisi Wanita di Dunia Barat

Dari sisi historis, terjunnya kaum wanita ke lapangan untuk bekerja dan berkarir semata-mata karena unsur keterpaksaan. Ada dua hal penting yang melatarbelakanginya:

Pertama, terjadinya revolusi industri mengundang arus urbanisasi kaum petani pedesaan, tergiur untuk menga-du nasib di perkotaan, karena himpitan sistem kapitalis yang melahirkan tuan-tuan tanah yang rakus. Berangkat ke perkotaan, mereka berharap menda-patkan kehidupan yang lebih layak namun realitanya, justru semakin sengsara. Mereka mendapat upah yang rendah.

Kedua, kaum kapitalis dan tuan-tuan tanah yang rakus sengaja mengguna-kan momen terjunnya kaum wanita dan anak-anak, dengan lebih memberikan porsi kepada mereka di lapangan pekerjaan, karena mau diupah lebih murah daripada kaum lelaki, meskipun dalam jam kerja yang panjang.

Kehidupan yang dialami oleh wanita di Barat yang demikian mengenaskan, sehingga menggerakkan nurani sekelompok pakar untuk membentuk sebuah organisasi kewanitaan yang diberi nama “Humanitarian Movement” yang bertujuan untuk membatasi eksploitasi kaum kapitalis terhadap para buruh, khususnya dari kalangan anak-anak. Organisasi ini berhasil mengupayakan undang-undang perlindungan anak, akan tetapi tidak demi-kian halnya dengan kaum wanita. Mereka tetap saja dihisap darahnya oleh kaum kapitalis tersebut.

Hingga saat ini pun, kedudukan wanita karir di barat belum terangkat dan masih saja mengenaskan, meskipun sudah mendapatkan sebagian hak mereka. Di antara indikasinya, mendapatkan upah lebih kecil daripada kaum laki-laki, keharusan membayar mahar kepada laki-laki bila ingin menikah, keharusan menanggung beban peng-hidupan keluarga bersama sang suami, dan lain sebagainya.

Ketika Elizabeth Blackwill – yang merupakan dokter wanita pertama di dunia – menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikot dengan dalih bahwa wanita itu tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika  dokter ini,  bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita di Philadhelpia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengecam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar disana.

Demikian selayang pandang sejarah kelam perjalanan wanita. Nah, situasi dan pandangan yang demikian tentunya tidak sejalan dengan petunjuk – petunjuk Al – Qur’an di dalam memposisikan wanita.

Bermula dari itulah, diskursus tentang karir wanita dan wanita karir era ini semakin menarik untuk dibahas dan dikupas. Sementara,  lahirnya pemerhati wanita atau yang sering disebut dengan kaum feminisme, menjadi “supporter” yang sangat solid untuk mendukung kebangkitan generasi hawa ini. Promosi-promosi emansipasi dan persamaan hak disegala bidang terus digalakkan. Pengusungan tema-tema menarik tentang kesetaraan gender menjadi program unggulan kaum ini. Tidak sedikit wanita muslimah terkecoh olehnya, terutama bagi mereka yang tidak memiliki basic keagamaan yang kuat dan memadai.
Karena merupakan masalah yang urgen dan berimplikasi serius, maka perlu bagi kita untuk mengangkat tema tersebut. Semoga tulisan ini menggugah wanita-wanita muslimah untuk kembali kepada fithrah mereka. Amîn.

2. Kedudukan Perempuan dalam Pandangan Islam

Menyoal tentang kedudukan wanita, mengantarkan kita agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al Qur’an tentang asal kejadian perempuan. Karena kedudukan perempuan menurut pandangan islam tidaklah sebagaimana masyarakat sekarang imani. Pada hakikatnya, ajaran islam memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.

Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, sebagaiamana dikutip Qurash Syihab dalam bukunya Membumikan Al qur’an, menulis: “Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.”[3]

Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: “Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari’at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.”[4]

Amina Wadud Muhsin, dalam buku Qur’an and Women,  mengemukakanbetapa pentingnya analisis konsep perempuan dalam Al qur’an, yang diukur bersama dengan perspektif ayat-ayat Al Qur’an itu sendiri, baik ia sebagai kekuatan sejarah, politik, bahasa, kebudayaan, pikiran dan jiwa, maupun ayat-ayat Tuhan yang dinyatakan sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia. Melalui pengkajian ulang Al Qur’an berikut prinsip-prinsip keadilan social, persamaan manusia, dan tujuannnya sebagai pedoman, Amina berharap bisa mengajukan pandangan baru mengenai peran perempuan.[5] Ringkasnya, ia melakukan analisis terhadap makna dan konteks ayat Al qur’an, tentang kaum perempuan. Pembahasan masalah perempuan dari perspektif lain seperti ini, dilakukan hanya untuk mengungatkan kita, betapa pentingnya peran perempuan dalam zaman modern ini.

Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu.

Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut kedudukan perempuan, dari segi (1) asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berkarir.

Asal Kejadian Perempuan

Secara tegas Al Qur’an menolak pandangan-pandangan tentang perbedaan asal kejadian perempuan dan lelaki. Antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa’ ayat 1

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya [[6]] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.

Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan:

Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan “buruk”-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).

Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.

Mengenai ‘tulang rusuk yang bengkok’ sebagai asal usul perempuan, sebagaimana disebut di dalam hadis riwayat Buhkari dan Muslim,  ditanggapi oleh beberapa pemikir muslim, termasuk Quraish Shihab, sebagaimana dikutip oleh Nurjannah Ismail dalam bukunya “Perempuan dalam Pasungan”, menulis:

Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[7]

Hak-hak Perempuan dalam berkarir (Memilih Pekerjaan) Menurut Perspektif Islam

Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”. [8]

Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Nama Khadijah binti Khuwailid, istri nabi pertama,  tercatat sebagai seorang yang sangat sukses dalam dibidang perdagangan. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli.

Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan.

Adapun pembahasan menyangkut karir wanita dapat bermula dari surat Al Ahzab ayat 33

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[[9]] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Al Maududi, pemikir muslim Pakistan kontemporer dalam bukunya Al – Hijab, menulis : bahwa ahli qiraat dari  Madinah dan sebagian ulama Kufah membaca ayat ini dengan ‘Waqarna’, dan bila dibaca demikian, berarti : “tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada di sana”. Sementara itu, ulama – ulama Bashrah dan Kufah membacanya ‘waqima’ dalam arti, “tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan hormat”. Sedangkan tabarruj yang dilarang oleh ayat ini adalah “menampakkan perhiasan dan keindahan atau keagkuhan dan kegenitan berjalan”.

Lebih lanjut, Al Maududi menjelaskan bahwa : “tempat wanita adalah dirumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada dirumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat memerhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu.

Pendapat  ini, oleh Qurasih Shibab dikomentari  bahwa Al – Maududi  tidak menggunakan kata “darurat” tapi “kebutuhuan atau keperluan”. Ini mengindikasikan bahwa ada peluang bagi wanita untuk keluar rumah. Persoalaanya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut? Misalnya, “bolehkah mereka bekerja?”

Menanggapi persoalan ini, beliau dalam bukunya wawasan Al Qura’an,  menjawab dengan menulis pendapat Muhammad Quthb, salah seorang pemikir Ikhwan Al – Muslimin menulis, dari buknya¸Ma’rakat At Taqalid, bahwa ‘ayat ini bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena islam tidak melarang wanita bekerja. Hanya saja islam tidak senang (mendorong) hal tersebut, islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar’. [10]

Dalam bukunya, syubuhat Haula Al – Islam, Muhammad Qutbhb lebih lanjut menjelaskan : “perempuan pada zama islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.

3. Kesimpulan

Mendasar  pada asumsi-asumsi diatas, maka penulis lebih  sependapat dengan apa yang  dikemukakan oleh Quraish Shihab, bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”. Dengan demikian, bisa diakatakan bahwa mereka (kaum wanita) adalah “Saqaiq Ar – Rijal” (Saudara sekandung kaum pria), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat diaktakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi dan tugas yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga perbedaan tersebut tidaklah mengakibatkan yang satu merasa lebih memiliki kelebihan dari pada yang lain. Allah berfirman :

32. Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

4. Penutup

Mari bersama-sama menyadari betapa agungnya agama kita di dalam setiap produk hukumnya. Ia akan selalu “sholeh”  di dalam setiap masa dan tempat. Manusia harus sadar terhadap tugas dan tanggung jawab masing-masing, baik sebgai manusia itu sendiri, maupun sebagai laki-laki atau perempuan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 2007. “Membumikan Al Quran”. Bandung : Mizan.

———–2007. “Wawasan Al Qur’an”. Bandung : Mizan.

Ismail, Nurjannah. 2003. “Perempuan dalam Pasungan, Bias Laki-laki dalam Penafsiran”. Yogyakarta : Lkis.

Baidan, Nasharuddin. 1999. “Tafsir bi Al – Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Muhsin, Amina Wadud. 1992. “Qur’an and Women”. kuala lumpur: Fajar Bakti


*Disampaikan pada diskusi kelas (Selasa, 06 November 2012) mata kuliah Bahasa Indonesia

[1]Nasharuddin Baidan, Tafsir bi Al – Ra’yi, “Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an”,(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999) hal. 12 (lihat pula Murtada Mutahhari, The Right of Women In Islam, WOFIS, 1981 )

[2] Ibid.

[3] Quraish Syihab, membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 420. Lihat pula (Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu’attalat, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964, h. 138.)

[4] Quraish Syihab, membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 420.  Lihat pula (Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-‘Amat lil Azhar, 1959, h. 193)

[5]  Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, (kuala lumpur: Fajar Bakti, 1992)

[6] Maksud ‘dari padanya’ menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.

[7] Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan,(Yogyakarta:Lkis,2003) hal. 241. Lihat pula (  Quraish Syihab, membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) hal.422

[8] Quraish Syihab, membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) hal. 429

[9] Ayat ini sering kali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita keluar rumah (berkarir). Al Qurthubi (w. 671 H) – yang dikenal sebagai salah seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum – menulis antara lain : “makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah. Walaupun redaksinya ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW, selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut”.

[10] Quraish Shihab, wawasan Al Qur’an (Bandung: Mizan, 2007) hal. 403 (lebih…)

Oleh: Elvi Leili Hadiyatika

Salah satu konsep Islam yang sering mendapat kritikan dan dipermasalahkan oleh kaum feminis adalah konsep penciptaan perempuan. Mereka tidak setuju dengan hadits-hadits Nabi saw. Yang redaksinya seakan-akan menyatakan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam.kaum feminis menilai bahwa hadits-hadits ini mengandung unsur misoginik yang bias mendiskreditkan kaum wanita. Hadits-hadits yang dimaksud salah satunya adalah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Nasihatilah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena ia diciptakan dari tulang rusuk, dan Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok ialah tulang rusuk yang paling atas. Apabila engkau berusaha meluruskannya (dengan keras) tentulah ia patah. Apabila kamu biarkan, tentulah ia senantiasa bengkok, maka berwasiatlah baik kepada istri-istrimu.” (H.R Mutafaqun ‘alaih, Ahmad dan Darimi)[1]

Hadits-hadits yang berkaitan  dengan penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki itu bernilai shahih dari segi sanadnya.

Seorang tokoh feminis asal Pakistan, Riffat Hasan, menyatakan bahwa hadits yang secara eksplisit menyebutkan perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bernialai dhaif dari segi sanad, karena dalam hadits tersebut terdapat empat perawi yang tidak dapat dipercaya. Empat perawi tersebut adalah maisarah al-Asyja’I, Haramalah ibn Yahya, Zaidah dan Abu Zinad. Riffat mendasarkan penilaian itu kepada adz-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal fi naqd ar-Rijal.

Dari segi matan, Riffat mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih karena bertentangan dengan ayat al-Qur’an. Ia menilai hadits ini tidak shahih karena bertentangan dengan ayat al-Qur’an. Hadits tentang tulang rusuk ini bertentangan dengan konsep al-Qur’an mengenai manusia diciptakan dalam bentuk paling sempurna (fi ahsani taqwim). Tetapi Riffat tidak menjelaskan secara detail tentang penafsiran fi ahsani taqwim sebagaimana ia gunakan dalil ini untuk melemahkan matan hadits ini.

Dalam surat an-Nisa ayat 1 banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam.[2] Seperti Jalaluddin as-Suyuti, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa’i, Abu Su’ud dan lain-lain. Salah satu ulama tafsir bermadzhab syi’ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.[3] Argument yang mereka bangun adalah pertama, lafadz min terdapat pada kalimat wakhalaqa minha zaujaha adalah min tab’idhiyah yang dengan demikian berarti hawa diciptakan dari sebagian Adam. Kedua, berdasarkan hadits Rasulullah saw yang telah disebutkan di atas menyebutkan secara dzahir penciptaan hawa dari tulang rusuk Adam. Para imam hadits dan ahlinya dari dulu hingga sekarang telah sepakat akan keshahihan dan kedudukannya sebagai hujjah.

Namun demikian, menurut ar-Razi, beberapa ulama seperti Abu Muslim al-Isfahani yang mengatakan bahwa dhamir “ha” pada kata “minha” bukan dari bagian tubuh Adam, tetapi “dari jins (gen), unsur pembentuk Adam”. Menurut Nasaruddin Umar, maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap dan –dalam kata-kata Nasaruddin Umar- masih menjadi misteri (misteri nafs wahidah). Hal itu karena, sebagaimana disinggung di atas, para mufassir memang masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “diri yang satu” (nafs wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) “dari padanya” (minha) dan apa yang dimaksud “pasangan” (zauj) pada ayat tersebut. Pendapat lain dikemukakan oleh Thabathaba’i yang mengartikan nafs wahidah dengan ruh (soul). Bahkan ulama ini menegaskan ketidaksetujuannya atas penjelasan hadits yang menyatakan hawa diciptakan dari tulang rusuk.

Menanggapi akan argumen Riffat Hasan, Prof. Dr. Yunahar Ilyas dalam tesis masternya yang meneliti tentang isu-isu feminisme dalam tinjauan tafsir al-Qur’an, yang mana di dalamnya beliau meneliti secara detail tentang pernyataan Riffat Hasan terhadap hadits tulang rusuk tersebut. Ia menyatakan bahwa Riffat tidak teliti dalam merujuk kitab tersebut. Apabila ada nama perawi yang sama, seorang peneliti harus meneliti perawi mana yang dimaksud. Bisa dengan meneliti nama orang tuanya, nama keluarga atau melihat nama murid dan guru-gurunya. Sangat gegabah kalau hanya melihat nama yang sama lalu diputuskan dialah orang yang dimaksud. Dari keempat perawi dari riwayat Bukhari dan Muslim tersebut tidak pernah didahifkan oleh Adz-Dzahabi, bahkan sebaliknya.

Maisarah yang didhaifkan oleh adz-Dzahabi adalah Maisarah ibn Abd Rabbih al-Farisi, seorang pemalsu hadits. Sedangkan Maisarah dalam Bukhari Muslim adalah Maisarah ibn ‘Imarah al-Asyja’i al-Kufi, dan tidak didhaifkan Adz-Dzahabi. Begitu juga dengan Haramalah ibn Yahya oleh Adz-Dzahabi letakkan kode مح yang menurut muhaqqiq-nya kode itu berarti bahwa nama yang berada di belakangnya adalah perawi yang tsiqah. Dan adz-Dzahabi sendiri menilainya sebagai salah seorang imam yang dipercaya.

Zaidah yang didhaifkan adz-Dzahabi adalah Zaidah ibn Salim yang meriwayatkan dari Imran ibn Umair, Zaidah ibn ar-Riqad yang meriwayatkan dari Ziyad an-Numairi dan Zaidah yang meriwayatkan dari Sa’ad. Zaida terakhir ini juga didhaifkan oleh Imam Bukhari. Kalau Bukhari telah mendhaifkan, maka mustahil ia akan menerima haditsnya. Kemudian, Zaidah yang diterima oleh Bukhari Muslim adalah Zaidah ibn Qudamah ats-Tsaqafi, tidak pula didhaifkan oleh adz-Dzahabi.

Sedangkan Abu Zinad perawi dalam Bukhari Muslim adalah Abdullah ibn Zakwan yang oleh adz-Dzahabi dinilai tsiqah syahir. Dalam ilmu jarh wa ta’dil ungkapan tsiqah syahir adalah salah salah satu ungkapan tsiqah yang tinggi.

Dengan demikian pernyataan Riffat Hasan bahwa hadits ini dhaif dari segi sanad telah terbukti salah. Kemudian bagaimana menaggapi pernyataan Riffat Hasan bahwa matan hadits ini bertentangan dengan al-Qur’an terutama dengan ayat fi ahsani taqwim?

Dalam buku Asal Usul Manusia Menurut Bible, al-Qur’an dan Sains karangan Maurice Bucaille, arti taqwim adalah mengorganisasikan sesuatu dengan cara terencana. Dengan pengertian seperti itu, ayat ini menjelaskan bahwa manusia telah diberi bentuk yang sedemikian terorganisasikan sesuai kehendak Tuhan. Bentuk yang terorganisasi oleh Tuhan itu selaras melalui adanya keseimbangan dan kompleksitas struktur. Oleh Bucaille, ayat ini dikaitkan dengan surat al-Infithar ayat 7-8:

Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,. dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.

Dari uraian Bucaille di atas dapat disimpulkan bahwa penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak bertentangan dengan konsep fi Ahsani taqwim, karena konsep ini merujuk kepada bentuk tubuh manusia yang selaras setelah diciptakannya, bukan merujuk kepada hari apa dan bagaimana proses penciptaan itu terjadi. Oleh karena itu dari segi matan, hadits tersebut bernilai shahih dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

Dr. Daud Rasyid juga telah membahas panjang lebar dalam bukunya Sunnah Di Bawah Ancaman, ia menyebutkan bahwa Riffat Hasan tak hanya mengklaim bahwa hadits ini dhaif, namun menganggap bahwa hadits ini adalah dongeng belaka. Tuduhan ini bukan hanya tidak benar, melainkan juga telah menodai kesucian hadits Nabi saw. Selain itu Riffat juga melontarkan tuduhan kepada sahabat yang meriwayatkan hadits ini dengan menyatakan bahwa Abu Hurairah dianggap sebagai sahabat Nabi saw., yang kontroversial oleh banyak ilmuwan Islam pada masanya, termasuk oleh Imam Abu Hanifah.

Ini adalah kebohongan dan penghinaan terhadap sahabat Nabi saw., dan sangat mirip dengan apa yang dilakukan tokoh ingkar sunnah asal Mesir, Abu Rayyah, dalam bukunya al-Adhwa ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah. Tampak sudah bahwa kritik yang dilakukan Riffat berlatarbelakang kebencian yang mendalam dan emosi yang meluap-luap hingga berkata sesuka hatinya tanpa didasari argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dr. Daud Rasyid menyatakan pula kritik hadits Riffat ini lebih keras daripada serangan yang dilancarkan oleh orientalis. Dilatarbelakangi oleh kritik terhadap hadits ini, sebuah lembaga sekuler Indonesia mengundangnya sebagai pembicara sebuah seminar dengan dukungan publikasi media yang gencar. Dari sinilah tampak ada sebuah konspirasi transnasional dalam menyebarkan virus-virus pemikiran di tubuh umat Islam. Hal ini tempak jelas ketika Riffat menutup makalahnya dengan,

“Melihat betapa penting masalah ini, maka sangat perlu bagi setiap aktivis hak asasi perempuan Islam untuk mengetahui keterangan dalam al-Qur’an bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sama, telah diubah oleh hadits. Dengan demikian, satu-satunya cara agar anak cucu perempuan (Hawa) dapat mengakhiri sejarah penindasan yang dilakukan oleh anak cucu Adam ini adalah dengan cara kembali pada titik semula dan mempertanyakan keshahihan hadits yang menjadikan perempuan hanya makhluk kedua dalam ciptaan, tetapi pertama dalam dosa, kesalahan, cacat moral dan mental. Mereka harus mempertanyakan sumber-sumber yang menganggap bahwa mereka bukan sebagai dirinya sebagaimana seharusnya mereka ada, tetapi hanya alat untuk kepentingan dan kesenangan laki-laki…” (Ulumul Qur’an, no. 4, tahun 1990, hal. 55)

Islam memandang perempuan tidak seperti apa yang digambarkan Riffat dalam hadits ini bersifat misoginik. Kalau kita melihat bagaimana posisi perempuan pra-Islam, kita akan tahu bahwa Islam sangat memuliakan perempuan dan mengangkat kedudukannya dari kehinaan dan perbudakan yang tak terbayangkan pada masa umat-umat sebelumnya.

Dr. Abu Sarie Muhammad Abdul Hadi dalam bukunya Wa ‘Asyiruhunna bil Ma’ruf menyatakan bahwa orang Arab pra-Islam bersedih dengan kelahiran anak perempuan, karena merupakan bencana dan aib bagi ayah dan keluarganya, sehingga mereka membunuhnya tanpa undang-undang dan tradisi yang melindunginya.

Al-Qur’an juga telah mencatat sikap jahiliyah mereka terhadap perempuan dalam surat an-Nahl ayat 58-59:

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”

Ketika datang Islam memuliakan, menjaga dan memberi perempuan hak-hak yang tidak dinikmati sebelumnya. Allah mengakui hak sosial dan ekonomi perempuan serta memerintahkan mereka untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran seperti halnya laki-laki. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 71:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Adapun pesan utama hadits tentang tulang rusuk adalah bagaimana baiknya para suami memperlakukan istrinya, terutama metode memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan istri. Karena sifat dan pemikiran dasar laki-laki berbeda dengan perempuan, maka jika ada permasalahan luruskanlah dengan bijaksana, jangan kasar dan keras sehingga menyebabkan perceraian dan jangan pula membiarkan istri melakukan kesalahan yang mungkin terjadi. Bernasihatlah yang baik. Kemudian Rasulullah memanfaatkan penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok untuk menjelaskan bahwa betapa laki-laki harus hati-hati dan bijaksana meluruskan kesalahan-kesalahan perempuan. Karena meluruskan kesalahan perempuan ibarat meluruskan tulang rusuk yang bengkok, kalau tidak hati-hati dan bijaksana bisa menyebabkan tulang itu patah.

Menurut Ibn Hajar, mulut perempuan ibarat bagian atas tulang rusuk yang paling bengkok. Kalau suami tidak pandai-pandai menghadapi mulut istri, tentu bisa menyebabkan perceraian. Dalam fathul bari juga ada riwayat lain yang secara ekplisit menyatakan bahwa yang dimaksud dengan patannya tulang itu adalah perceraian. Jadi hadits tentang perempuan diciptakan dari tulang rusuk sama sekali tidak mengandung unsur misoginik, sekalipun diciptakan secara berbeda, tetapi esensi kemanusiaan masing-masing tidak berbeda.

Pengaruh Agama Yahudi

Ada suatu riwayat yang masih kontroversial menceritakan asal usul kejadian perempuan, namun hadits ini tidak diketahui referensi utamanya.

“Ketika Allah mengusir Iblis keluar dari surga lalu di dalamnya ditempatkan Adam. Ketika Adam tidak mempunyai teman bermain, maka Allah menidurkannya kemudian mengambil dari tulang rusuk kirinya lalu Ia mengganti daging ditempatnya semula kemudian Ia menciptakan Hawa dari padanya. Ketika bangun Adam menemukan seorang perempuan duduk di dekat kepalanya. Adam bertanya; siapa anda? Hawa menjawab: perempuan. Adam kembali bertanya: kenapa engkau diciptakan?, Hawa menjawab: Supaya engkau mendapatkan kesenangan dari saya. Para Malaikat berkata: Siapa namanya? Dijawab Hawa. Mereka bertanya mengapa dipanggil hawa? Dijawab, karena diciptakan dari sebuah benda hidup.”

Teks di atas sangat mirip dengan redaksi dalam kitab Genesis (Perjanjian Lama), pasal 21-23. Konsep teologi yang mengatakan bahwa Hawa berasal dari tulang rusuk Nabi Adam.[4]

Kembali kepada hadits yang jelas periwayatannya. Hadits ini dinyatakan shahih oleh para ulama. Namun tidak berarti mereka sependapat dalam memahami hadits tersebut. Sebagian ulama memahaminya dengan  pengertian tekstual (harfiyyah), sementara sebagian yang lain lebih memahaminya dengan pengertian metafora (majazi atau tasybih). Bagi mereka yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits di atas memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena sifat, karakter dan kecenderungan mereka tidak sama dengan laki-laki. Perbedaan karakter dan kecenderungan jenis manusia ini jika tidak dihadapi dengan bijaksana akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[5]

Dalam doktrin agama Yahudi atau dalam kitab Talmud disebutkan akibat dosa Hawa di sorga, maka kaum wanita secara keseluruhan akan menanggung 10 beban dosa atau penderitaan yaitu:

  1. Perempuan akan mengalami siklus mentruasi, sebelumnya Hawa tidak pernah mengalaminya. Darah mentruasi dianggap darah tabu, perempuan yang mens menurut kepercayaan Yahudi harus diasingkan dan hidup di gubuk khusus atau di goa-goa, tidak boleh bercampur dengan keluarganya, berhubungan suami istri dan menyentuh jenis makanan tertentu.
  2. Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami sakit.
  3. Perempuan akan mengalami penderitaan dan mengasuh anak-anaknya.
  4. Perempuan akan merasa malu akan tubuhnya sendiri.
  5. Perempuan akan mereasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
  6. Perempuan akan merasa sakit saat melahirkan.
  7. Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu pria.
  8. Perempuan masih akan merasakan hubungan suami istri lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
  9. Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan suami istri terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikannya.
  10. Perempuan lebih suka tinggal di rumah.

Kaum Yahudi berpandangan bahwa akibat dari kesalahan Hawa, maka Allah menurunkan 10 kutukan-Nya. Padahal kesepuluh point di atas bersifat alami yang akan terjadi apada setiap wanita. Seperti dalam Bible yang mempersepsikan kaum pria pantas memiliki superioritas di atas perempuan. Sebaliknya kaum perempuan sudah seharusnya mengabdikan dirinya pada kaum pria, dengan berbagai alasan historis:

  1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam.
  2. Wanita diciptakan Allah untuk melengkapi kesenangan kaum Adam.
  3. Wanita penyebab langsung jatuhnya Adam dari sorga, seperti yang diungkapkan dalam Kitab Kejadian (3:12) “Manusia itu menjawab:”wanita yang Kamu tempatkan disisiku adalah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.”[6]

Pandangan semacam itu keliru dalam pandangan Islam. Karena sejak semula Allah telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan manusia sebagai khalifah di bumi (QS 2:30) dan juga karena ayat-ayat al-Qur’an ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan, serta tergelincirnya Adam dan Hawa di ungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan kesamaan keduanya tanpa perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

Hasbi Indra, dkk,. Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004)

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan Pustaka, 2003.

Terjemahan dari Tarjamah Shahih Bukhari juz VII, terj. Ahmad Sunarto, (Semarang: Asy Syifa, 1993

Tafsir Al-Qur’an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an. 2009


[1] حدثنا أبو كريب وموسى بن حزام قالا: حدثنا حسين بن علي، عن زائدة، عن ميسرة الأشجعي، عن أبي حازم، عن أبي هريرة رضي الله عنه قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه، فإن ذهبت تقيمه كسرته، وإن تركته لم يزل أعوج، فاستوصوا بالنساء).(رواه متفق عليه و احمد و الدرامى)

[3] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003) hlm. 299

[4] Hasbi Indra, dkk,. Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004) hlm. 244

[5] Tafsir Al-Qur’an Tematik: Kedudukan dan Peran Perempuan, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an. 2009

[6] Hasbi Indra, Potret Wanita Sholehah…. hlm. 263

 

NASKH MAHSUKHBy…

Posted: September 26, 2012 in Uncategorized

NASKH MAHSUKH

By : Hasyim cahnom

  1. A.     PENGERTIAN NASKH

Dari segi bahasa, naskh mempunyai arti yang bermacam-macam. Diantaranya ialah menghapus (izalat), menukar (tabdil), mengubah (tahwil) dan juga berarti memindahkan (al-naql).

Menurut ahli Ushul fiqh, naskh ialah : “membatalkan penerapan hukum syar’i yang datang kemudian, untuk kemaslahatan umat”[1]

Ulama Muta’akhirin membuat definisi naskh sebagai berikut :

“Menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Dalil yang demikian ini biasa disebut dengan al-nasikh (yang menghapus). Sedangkan hukum yang pertama disebut sebagai al-mansukh (yang terhapus). Sementara itu, penghapusan hukum tersebut dinamakan al-naskh”[2].

            Proses naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus pada Zat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini karena syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut[3].

Allah berfirman :

$yg•ƒr’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ ãP$u‹Å_Á9$# $yJx. |=ÏGä. ’n?t㠚úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Al-Baqarah : 183)

 

 

Syarat-syarat yang menyebabkan proses naskh bisa terjadi ada lima :

  1. Hendaklah hukum yang terkandung dalam nasikh dan mansukh bertentangan, sehingga tidak mungkin untuk diambil upaya ijma’ (kompromi).
  2. Hendaklah hukum dalil yang mansukh sudah berlaku sebelum digantikan dengan hukum nasikh.
  3. Hendaklah hukum yang dinaskh adalah hukum yang ditetapkan melalui nash syar’i. Kalau hukumnya hanya sebatas ditetapkan oleh tradisi atau kebiasaan, maka hukum baru yang membatalkannya tidak bisa dibilang sebagai nasikh, akan tetapi dianggap sebagai awal mula dalam pensyariatan hukum baru.
  4. Hendaklah hukum dalil yang berfungsi sebagai nasikh harus berasal dari nash syar’i., sebagaimana hukum pada dalil yang mansukh.
  5. Hendaklah proses penetapan dalil nasikh minimal setara dengan proses penetapan dalil mansukh. Akan lebih baik kalau proses penetapannya memiliki status yang lebih tinggi[4].

 

  1. B.     MACAM-MACAM NASKH

Pembagian naskh berbeda. Abd Wahab Khalaf sebagaimana Muhammad Abu Zahrat membagi naskh menjadi 4 macam, yaitu :

  1. Naskh Sharih

Naskh sharih ialah naskh yang jelas tentang berakhirnya suatu hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat sembahyang, dari menghadap baitul maqdis diubah menjadi menghadap ke ka’bah. (QS. 2:150)

ô`ÏBur ß]ø‹ym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øŠymur $tB óOçFZä. (#q—9uqsù öNà6ydqã_ãr ¼çntôÜx©

Artinya : “dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya……

 

  1. Naskh Dzimmi

Naskh Dzimmi yaitu naskh secara implisit (tersirat) yang tidak jelas. Naskh ini diketahui karena ada dua nash yang saling bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, kemudian diketahui bahwa kedua nash itu datangnya tidak sekaligus pada waktu yang sama. Dari itu, maka ayat (nash) kedua berfungsi sebagai NASIKHAT dan yang pertama menjadi MANSUKHAT. Misalnya (QS. 2;234, QS. 2:240)

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâ‘x‹tƒur %[`ºurø—r& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spyèt/ö‘r& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þ’Îû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  

Artinya : orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

 

tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâ‘x‹tƒur %[`ºurø—r& Zp§‹Ï¹ur OÎgÅ_ºurø—X{ $·è»tG¨B ’n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6ø‹n=tæ ’Îû $tB šÆù=yèsù þ’Îû  ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur ͕tã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ  

Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

 

  1. Naskh Kulli

Naskh kulli yaitu pembatalan hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya pembatalan wajibnya wasiat kepada orangtua dan kerabat (QS. 2:180) oleh ayat yang mawaris yaitu QS. 4 :11-14

|=ÏGä. öNä3ø‹n=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.y‰tnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§‹Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒy‰Ï9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  

Artinya : “diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS.  Al-Baqarah : 180)

 

 

11. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

12. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

13. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.

14. dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.  (An-Nisa ; 11-14)

 

  1. Naskh Juz’i

Naskh Juz’i ialah pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum sebelumnya oleh hukum yang datang kemudian. Misalnya ayat tentang hukuman jilid (cambuk) 80 kali bagi orang yang menuduh zina tanpa mengajukan 4 orang saksi (QS. 24:4) oleh ayat Li’an bagi suami istri (QS. 24:7). Kalau diperhatikan maka bentuk-bentuk di atas bukanlah naskh dalam arti yang sebenarnya. Tetapi hanya takhsish dari ‘am dan taqyid dari yang muthlaq.

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù’tƒ Ïpyèt/ö‘r’Î/ uä!#y‰pkà­ óOèdr߉Î=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ …..

Artinya :  dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, …….

èp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |MuZ÷ès9 «!$# Ïmø‹n=tã bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÎ/ɋ»s3ø9$# ÇÐÈ  

Artinya : “dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta”[1030].

 

[1030] Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li’an.

 

      Pembagian naskh yang lain ialah Al-Qur’an dinasikhkan dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan hadits mutawatir, hadits dengan Al-Qur’an dan hadits dengan hadits (mutawatir).

 

  1. C.      PENDAPAT ULAMA TENTANG NASKH

Antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin terjadi perbedaan diametral dalam memahami konsep naskh dalam Al-Qur’an.  Perbedaan pendapat tersebut bermuara pada pemahaman mereka terhadap beberapa teks Al-Qur’an yang secara eksplisit menjelaskan tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an. Di antara teks Al-Qur’an yang mendukung teori tersebut adalah :

 $tB ô‡|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù’tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃ωs% ÇÊÉÏÈ  

Artinya : Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. (Al-Baqarah : 106)

#sŒÎ)ur !$oYø9£‰t/ Zptƒ#uä šc%x6¨B 7ptƒ#uä   ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍi”t\ム(#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤ŽtIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçŽsYø.r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÉÊÈ  

101. dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.

 

 

 

Pendapat-pendapat ulama tentang Naskh antara lain :

  1. 1.        Menerima adanya Naskh

Abd al-Wahab Khalaf berpendapat bahwa memang terdapat naskh sebelum Rasul SAW wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi naskh. Al-Suyuti lebih jauh merinci ayat-ayat naskh dan macam-macam naskh. Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi cenderung menolak naskh. Jumhur ulama menyetujui adanya naskh termasuk imam Syafi’i dan imam-imam yang lain.

     Asal mula timbulnya teori naskh ialah bermula adanya ayat-ayat yang menurut anggapan mereka saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Meenurut an-Nahhas (w. 388 H) ayat-ayat yang mansukhat sebanyak 100 ayat lebih.menurut al-Suyuthi (w. 911 H) setelah menyesuaikan ayat-ayat yang nampaknya bertentangan, tinggal 20 ayat yang tidak dapat disesuaikan. Al-Syaukani (1250 H) berpendapat bahwa ayat-ayat yang tidak dapat dikompromikan yang semula 20 ayat akhirnya tinggal 8 ayat. Syah Waliyullah (1703-1762 H) bahkan memakai arti naskh dalam arti yang lebih umum sehingga menurut pendapatnya ayat yang telah di-naskh-kan mencapai kurang lebih 500 ayat[5]. Tetapi setelah syah Waliyullah melakukan kompromi terhadap ayat-ayat yang berlawanan, maka tinggal 5 ayat saja yang mansukhat[6].

Para pendukung naskh mansukh membedakan naskh dalam 3 model, yakni :

  1. Naskhut-Tilawah wabaqa’ al-hukmi, yakni penghapusan Al-Qur’an secara tekstual, tetapi tidak ada sedikitpun penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya (hukumnya tetap dinyatakan berlaku). Contohnya ialah pernyataan Umar bin Khattab yang menyatakan : “Sekiranya aku tidak khawatir (takut) dituduh banyak orang bahwa Umar telah menambah-nambahkan Al-Qur’an dengan yang tidak tertulis di dalamnya, niscaya akan aku tuliskan ayat tentang (perintah) hukuman rajam, dan menyertakannya di dalam al-Mushaf” seraya membacakan ayat :

الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البنة نكالا من الله والله عليم حكيم

Artinya : “apabila seorang lelaki dewasa dan seorang perempuan dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian hukum dari Tuhan, dan Tuhan maha Kuasa lagi Maha bijaksana.

           Menurut riwayat, dinyatakan bahwa teks di atas termasuk bagian dari teks al-qur’an yang dinaskh. Menurut riwayat ayat tersebut termasuk dalam QS. An-Nuur : 24

  1. Naskhu al-hukmi wa baqa’u at-tilawah, yakni penghapusan pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapuskan bacaannya (teksnya tetap diabadikan). Diantara contohnya ialah perintah mengarahkan kiblat shalat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, penghapusan puasa selama tiga hari setiap bulan dan puasa Asyura dengan puasa Ramadhan.
  2. Naskhut Tilawah wal-hukmi ma’an, yakni penghapusan teks (bacaan) Al-Qur’an dan sekaligus juga penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya. Contoh yang umum dikemukakan ialah riwayat ‘Aisyah ra yang pernah berkata : “pada mulanya, diturunkan ayat Al-Qur’an (tentang saudara sepersusuan yang diharamkan menikah) adalah sepuluh susuan yang diketahui, kemudian dinaskhkan dengan lima kali (susuan) yang diketahui, kemudian setelah itu Rasul swa wafat[7].

 

  1. 2.        Menolak adanya Naskh

Di antara mereka yang menolak naskh dalam al-Qur’an ialah Abu Muslim al-Isfhani (w. 322 H). Yang kemudian diikuti oleh ulama mutaakhirin.

Di antara alasan mereka ialah :

  1. Sekiranya di Al-Qur’an ada naskh, maka berarti dalam al-Qur’an ada yang salah atau batal. Sedang di Al-qur’an sendiri dinyatakan tidak ada kebatalan (QS. 41:42).

žw Ïm‹Ï?ù’tƒ ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB Èû÷üt/ Ïm÷ƒy‰tƒ Ÿwur ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz ( ×@ƒÍ”\s? ô`ÏiB AOŠÅ3ym 7‰ŠÏHxq ÇÍËÈ  

Artinya : “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS. Fushilat : 42)

 

  1. Dalil yang dijadikan alasan adanya naskh perlu mendapat peninjauan lebih lanjut. Karena kata naskh mempunyai arti yang bermacam-macam. Sedangkan kata ننسخ dalam ayat 106 dari QS al-Baqarah dapat diartikan dengan “kami menukilkan” atau “kami memindahkan” ayat Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke langit dunia.
  2.  Tidak adanya kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah di-naskh.
  3.  Tidak ada penegasan Nabi tentang ada atau tidaknya naskh. Sekiranya telah terjadi naskh dalam al-Qur’an, tentunya Nabi sebagai pemegang otoritas utama dari Al-Qur’an menjelaskannya dengan tegas
  4. Adanya ayat yang nampaknya bertentangan  dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum dapat menjadi jaminan tentang adanya naskh. Ternyata banyak ayat yang semula diduga telah di-naskh-kan, dapat dikompromikan dengan jalan takhsish atau taqyid atau ta’wil atau dengan cara lain[8].

Mereka berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama ayat Al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi penaskh-an Al-Qur’an dengan al-Hadits, karena bagaimanapun derajat al-Hadits lebih rendah dibandingkan dengan Al-Qur’an. Padahal, diantara syarat nasikh mansukh ialah bahwa penaskh harus lebih unggul derajatnya daripada yang dinaskh, atau minimal sederajat[9].

            Para pendukung naskh-mansukh manafsirkan kata “ayatin” dan “ayatan” dalam QS. Al-Baqarah : 106 dan an-Nahl 101 dengan pengertian ayat Al-Qur’an. Sedangkan para penentang naskh-mansukh sesama Al-Qur’an menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah terdahulu (sebelum Al-Qur’an) yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung naskh mansukh memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab nuzul ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada munasabah (korelasi) ayat, terutama munasabah ayat 106 surat Al-Baqarah dengan ayat sebelumnya (ayat 105).  

$¨B –Šuqtƒ šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# Ÿwur tûüÏ.Ύô³çRùQ$# br& tA¨”t\ムNà6ø‹n=tæ ô`ÏiB 9Žöyz `ÏiB öNà6În/§‘ 3 ª!$#ur ŽÞtGøƒs† ¾ÏmÏGyJômtÎ/ `tB âä!$t±o„ 4 ª!$#ur rèŒ È@ôÒxÿø9$# ÉOŠÏàyèø9$# ÇÊÉÎÈ  

Artinya : “orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.

 

 

Ayat 105 surat al-Baqarah pada intinya menyatakan ketidaksenangan atau ketidaksukaan orang-orang kafir (dari ahlul kitab maupun Musyrikin) terhadap penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad saw. Padahal, seharusnya mereka (orang-orang kafir ahlul-Kitab dan Musyrikin) tahu diri bahwa penurunan Al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad saw itu seperti halnya penurunan kitab-kitab dan pengangkatan nabi-nabi yang lain adalah hak prerogatif Allah yang tidak perlu dicampuri.

Atas dasar ini, maka penafsiran kata ayah terutama yang terdapat dalam surat al-Baqarah : 106, tidaklah salah, bahkan malahan lebih tepat jika ditafsirkan dengan ayat Taurat atau Injil yang kemudian digantikan dengan ayat Al-Qur’an. Penafsiran ini akan tampak lebih tepat ketika dihubungkan dengan lafadz “na’ti bikhairin-minha aw mitsliha”.

Beralih pada kata ayatan yang terdapat dalam QS An Nahl : 101, yang juga ditafsirkan dengan ayat Al-Qur’an, “para Muhaqqiqin menetapkan bahwa ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an diturunkan di Madinah. Ayat-ayat yang dikatakan naskh menurut pendapat sebagian ulama adalah menaskhkan hukum, sedang masa itu, ayat-ayat hukum belum diturunkan. Maka teranglah bahwa ayat naskh itu mengisyaratkan kepada hukum-hukum yang diturunkan sebelumnya dan hukum-hukum itu terdapat dalam kitab-kitab tardahulu (Taurat dan Injil).

 Dapat dikemukakan argumentasi lain, bahwa menurut ahli ushul fiqh, naskh-mansukh hanya mungkin dilakukan manakala antara dua ayat itu bear-benar terdapat pertentangan (tanaqud) dan tidak dapat dikompromikan (tawfiq). Maksudnya, selama kedua ayat itu bisa diupayakan untuk dikompromikan, maka selama itu pula kebijakan nasikh-mansukh tidak bisa dilakukan.

Logikanya, jika antara ayat nasikhakh dengan ayat mansukhah itu harus terjadi tanaqud (pertentangan), maka orang tersebut berarti meyakini ada pertentangan sesama ayat Al-Qur’an. Padahal kemungkinan terjadi pertentangan antara sesama ayat Al-Qur’an itu sama sekali ditolak oleh al-Qur’an sendiri[10], sebagaimana dalam QS. An Nisa : 82 :

Ÿxsùr& tbr㍭/y‰tFtƒ tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ωZÏã Ύöxî «!$# (#r߉y`uqs9 ÏmŠÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZŽÏWŸ2 ÇÑËÈ  

Artinya : “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An-Nisa : 82).

dan di antara ulama Indonesia yang secara tegas menolak kemungkinan ada nasikh mansukh sesama ayat Al-Qur’an ialah Prof. Dr. T.M. Hasby Ash-Shiddiqiy (1904-1975 M). Menurutnya, tidak ada ayat-ayat Al-Qur’an yang di-naskh-kan oleh ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Yang ada hanyalah pen-takwil-an atau pen-takhsis-an / pen-taqyid-an[11].

  1. D.     CONTOH-CONTOH AYAT YANG DI NASKH[12]
    1. Firman Allah QS. Al- Baqarah : 115

¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr’sù (#q—9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4

Artinya : “dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. (al-Baqarah : 115)

Ayat ini dinaskh oleh QS. Al-Baqarah : 144

ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4

Artinya : “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram” (QS. Al-Baqarah : 144)

 

  1. Firman Allah QS. Al-Baqarah : 184

’n?tãur šúïÏ%©!$# ¼çmtRqà)‹ÏÜム×ptƒô‰Ïù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB (

Artinya : “dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah”

 

Ayat ini dinaskh oleh QS. 185 :

  1. Firman Allah QS. An-Nisa’ : 15-16

ÓÉL»©9$#ur šúüÏ?ù’tƒ spt±Ås»xÿø9$# `ÏB öNà6ͬ!$|¡ÎpS (#r߉Îhô±tFó™$$sù £`ÎgøŠn=tã Zpyèt/ö‘r& öNà6ZÏiB ( bÎ*sù (#r߉Íky­  Æèdqä3Å¡øBr’sù ’Îû ÏNqã‹ç6ø9$# 4Ó®Lym £`ßg8©ùuqtFtƒ ßNöqyJø9$# ÷rr& Ÿ@yèøgs† ª!$# £`çlm; Wx‹Î6y™ ÇÊÎÈ   Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uŠÏ?ù’tƒ öNà6ZÏB $yJèdrèŒ$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊ̍ôãr’sù !$yJßg÷Ytã 3

Artinya : “Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya(15) dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka (16). (an-Nisa’ : 15-16)

 

Ayat ini dinaskh oleh QS. An-Nuur : 2

èpu‹ÏR#¨“9$# ’ÎT#¨“9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (

Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera ”(an-Nuur : 2)

 

  1. Firman Allah QS. At-Taubah : 41

(#rãÏÿR$# $]ù$xÿÅz Zw$s)ÏOur (#r߉Îg»y_ur öNà6Ï9ºuqøBr’Î/ öNä3Å¡àÿRr&ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# 4 öÇÍÊÈ  

Artinya : “Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah”. (QS. At-Taubah : 41)

Ayat ini dinaskh oleh QS. At-Taubah : 91

}§øŠ©9 ’n?tã Ïä!$xÿyè‘Ò9$# Ÿwur ’n?tã 4ÓyÌöyJø9$# …

Artinya : “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah dan orang-orang yang sakit” (QS. At-Taubah : 91)

 

 

 

 

 

 

  1. E.      HIKMAH NASKH

Hikmah adanya naskh diantaranya ialah :

  1. Memelihara kepentingan hamba
  2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia
  3. Cobaan bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
  4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat, maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan, maka mengandung kemudahan dan keringanan[13].
  5. F.      KESIMPULAN

Dalam kajian tentang Naskh mansukh ini masih terdapat perbedaan di kalangan para ahli Tafsir, sehingga ini termasuk bagian ilmu penting yang harus dipelajari oleh para pelajar muslim, karena banyak dari kalangan orientalis yang memanfaatkan hal ini untuk memecah belah umat Islam dalam bidang keilmuan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Bandung, 2005

Ichwan, Mohammad Nor, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, RaSAIL Media Group, Semarang 2008

al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi Ulumil Qur’an, Mansyurat al-‘Asru al-Hadis. 1973. Ter. Drs. Mudzakir AS. Pustaka Litera AntarNusa. 2009

Jauzi,Ibn, An Nasikh wal Mansukh, Darul Fikri Al-Lubani-Beirut. 1992. Terj. Wawan Djunaedi Soffandi, S. Ag, Nasikh Mansukh, PUSTAKA AZZAM, Jakarta. 2002

Prof. Dr. Amin Suma, Muhammad, Al-Insan Jurnal Kajian Islam, Vol 1 No. 1, Januari 2005

 

 


[1] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Bandung, 2005, hlm. 171

[2] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, RaSAIL Media Group, Semarang 2008, hlm. 2008

[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulumil Qur’an, Mansyurat al-‘Asru al-Hadis. 1973. Ter. Drs. Mudzakir AS. Pustaka Litera AntarNusa. 2009, hlm. 328

[4] Ibn Jauzi, An Nasikh wal Mansukh, Darul Fikri Al-Lubani-Beirut. 1992. Terj. Wawan Djunaedi Soffandi, S. Ag, Nasikh Mansukh, PUSTAKA AZZAM, Jakarta. 2002, hal. 27-29

[5] Ibid, hlm. 176

[6] Ibid, hlm. 176

[7] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, Al-Insan Jurnal Kajian Islam, Vol 1 No. 1, Januari 2005, hlm. 33

[8] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Op.Cit, hlm. 178-180

[9] Prof. Dr. Amin Suma, Op.Cit, hlm. 33

[10] Ibid, hlm. 35-38

[11] Ibid, hlm. 34

[12] Manna’ Khalil al-Qattan, Op.Cit, hlm. 344-349

[13] Ibid, hlm. 339

Mereka Memusuhi Al quran !

Posted: April 5, 2011 in Uncategorized

By : Rochmad.

Mengenali musuh merupakan suatu elemen terpenting dalam sebuah peta perlawanana. Apalah kiranya jika sebagai seorang muslim yang terlibat dalam kancah pemikiran tidak bisa memetakan manakah kawan dan manakah musuh. Tentunya akan sangat menyedihkan ! dia akan merasa aman- mana saja padahahal musuh sudah mengintainya sejak lama. Dia akan merasa baik-baik saja padahal moncong senjata sudah tepat di jidatnya.

Sebagai sebuah dienul hayah, islam tentu saja memiliki para penghujat dan penentang. Tak terkecuali kitab suci Al quran yang menjadi pembenar atas kerosulan muhammad saw dan kebenaran itu sendiri, tentu saja tidak sepi dari deretan penghujat yang setia dengan kekafirannya.

Sejak awal memang Al quran telah mendapat tantangan luar biasa dari musuh-musuhnya. Musuh-musuh itu menghujat al quran dengan bahasa yang lugas tanpa ada basa basi. Dengan bermodalkan kecurigaaan dan semangat kebencian, mereka mengatakan bahwa al Quran adalah bikinan Muhammad dan sama sekali bukan wahyu dari allah.

Tidak hanya itu, bahkan ada di antara mereka yang sudah melakukan upaya tandingan dengan menciptakan sesuatu yang serupa dengan al Quran namun mereka gagal. Sejarah mencatat apa yang telah di lakukan oleh Musailimah Al Kazdab dan Aswad al ansi sebagai nabi palsu yang mencederai sejarah kegemilangan islam.

Dalam surat Hud ayat 13 dan 14 di sebutkan:
“Bahkan mereka mengatakan “ Muhammad telah membuat al Quran itu”. Katakanlah:” kalau demikian, maka datanglah sepuluh surat yang di buat-buat yang menyamainya, dan pangillah orang-orang yang sanggup memangil selain allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.

“Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu ketahuilah, sesungguhnya Al quran itu di turunkan dengan ilmu allah dan bahwasanya tidak ada tuhan selain dia ,Maka maukah kamu berserah diri kepada nya? “.

Tidak ada yang sanggup menandinggi al Quran. Tapi pendusta dan pembangkang al Quran akan selalu ada hingga akhir masa. Sepanjang rentan abad ke-13 dan ke-14 hijriyah saja, banyak muncul pendusta-pendusta al Quran. Semacam orang Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al quran itu adalah Allah di luar Dzat nya. Juga seperti pendapat Abu Mansur Al Maturidi (334 H )yang mengatakan bahwa al Quran itu hanya sebatas kandungan makna yang berdiri sendiri dalam dzat allah dan kemudian di ciptakan pada makluknya.

Permusuhan terhadapa al Quran ini akan selalu bergulir bak api yang tak pernah padam. Dari mulai dedengkot utama, para pionir dan pelopor, hingga kepada pengasong yang bersembunyi di balik liberalisme yang mereka dengung- dengungkan. Oleh karena itumengetahui awal permusuhan ini sangat penting di lakukan. Kenapa mereka memusuhi al Quran dan siapa saja yang terlibat dalam permusuhan ini menjadi penting untuk dikaji dan di ketengahkan.

Kenapa mereka memusuhi al Quran?
Kalangan Yahudi kristen telah lama menghujat al Quran. Hal ini di sebabkan oleh sikap penolakan mereka jika al Quran meluruskan agama Yahudi kristen. Hal ini di perparah oleh kemarahan mereka terhadap ayat allah yang ada dalam al Quran. Beberapa di antaranya adalah surat al maidah 72-73:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata “Sesungguhnya allah ialah al masih ( sendirir)berkata :”hau bani israil, sembahlah allah tuhanku dan tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang menyekutukan allah, maka allah mengharamkan kepadanya surga, Dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun”.

“ Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan :” Bahwasanya alllah salah seorang dari yang tiga “ padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain dari tuhan yang maha Esa, jika mereka tidak berhenti dari aPa yang mereka katakan itu, pasti orang-oarng yang kafir di antara mereka akan di timpa siksa yang pedih”
Kemudian pada surat An Nisa 157 tentang bantahan penyaliban terhadap isa dan lainnya.

Hal inilah yang kemudian menyulut api kebencian luar biasa terhadap al Quran. Hingga akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa al Quran bukan merupakan kalam ilahi. Mengkritik bibel yang mereka sebut sebagai God’s Word. (Adnin Armas, Metodologi bibel dalam studi Al Quran ).

“KH. Ahmad Dahlan VS Tradisi”

Posted: Februari 23, 2011 in Uncategorized

Judul Buku : Sang Pencerah (Novelisasi Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah)
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Mizan
Kategori : Novel Roman Dewasa
Tebal : 480 halaman
Harga : 59.600,-

“KH. Ahmad Dahlan VS Tradisi”
Fenomena menakjubkan ketika membaca novel karya Akmal Nasery Basral. Pasalnya ia mencoba menawarkan pemahaman islam murni, dengan metode menceritakan sejarah sosok tokoh organisasi keagamaan yang terkenal rasional dan simpel, Muhammadiyah.
“Sang Pencerah” judul buku karya Akmal tersebut menceritakan sosok KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang terkenal dengan kekritisan berpikirnya dalam menanggapi fenomena kehidupan yang terjadi disekitarnya. Awal perjuangan Ahmad Dahlan dimulai dari keprihatinannya melihat skandal tradisi masyarakat Kauman Jogjakarta yang masih getol kejawennya, padahal mereka sudah memeluk agama islam.
Di masa kecil, ia bernama Darwis dan menjalani masa kecil serta remaja dengan teman-temannya secara normal, seperti orang-orang pada umumnya. Yang agak tak biasa pada diri Ahmad Dahlan muda adalah daya kritisnya pada keadaan dan umat Islam. Kekritisan Darwis misalnya tampak saat ia mengikuti acara peringatan 40 hari kematian tetangganya. Saat permisi buang hajat, Dahlan secara tak sengaja mendengarkan percakapan tentang tuan rumah yang harus mengutang demi menggelar acara peringatan 40 hari yang sudah terkesan ‘’wajib dan sakral’’ dilakukan di sekitar Kampung Kauman, Jogjakarta itu. Dia merasa heran, kenapa orang yang sudah susah dengan kematian keluarga, harus dibebani dengan utang pula.
Kekritisannya berlanjut ketika di masjid terdapat adanya tempat khusus, lebih tinggi dari jamaah yang lainnya, yang diperuntukan bagi Sultan. Dia mempertanyakan kepada ayahnya, kenapa Sultan memiliki tempat khusus, padahal dalam pelajaran yang diterimanya, manusia itu sama, hanya takwanya yang menentukan beda dengan sesama muslim. Pertanyaan kritis ini dijawab ayahnya dengan bijak. Namun tetap saja Dahlan kurang puas dan ingin mendapatkan jawaban yang lebih konkret. Dia terus bertanya dan mencari jawaban alternatif.
Kekritisan dan sikap bedanya dengan kebanyakan orang, serta pendiriannya yang kukuh membawa Dahlan pada situasi yang sulit. Dia mulai tak diterima lingkungannya yang paternalistik. Para kyai memusuhinya, bahkan ada yang mencapnya sebagai kafir. Semakin lama, jiwanya semakin tak nyaman dengan kondisi ini. Melihat kondisi yang menghimpit kehidupannya, dia memutuskan untuk merantau ke Timur Tengah, akhirnya Dahlan pun bertemu dengan mujaddid semacam Muhammad Rasyid Ridla. Tentu saja ini mengukuhkan pendiriannya.
Lika-liku kehidupan Dahlan sungguh merupakan sebuah realitas keras. Di tengah ide pembaruan yang diusungnya, banyak sekali tantangan yang diterima, yang mengakibatkannya ia harus bergelut dengan lingkungannya. Sepulang Dahlan ke tanah air, dia mendirikan organisasi keagamaan tertua bernama Muhammadiyah. Salah satu visi organisasi Muhammadiyah adalah memurnikan kembali ajaran Islam, sama dengan beberapa pembaru semacam Jamaluddin Al-Afgani dan Rasyid Ridha. Dahlan merupakan sosok muda pendobrak dan pembaru tradisi bangsa, yang tak lain berniat agar islam kembali menjadi rahmat bagi semesta alam ini. Bukan islam yang menyulitkan pemeluknya sendiri.
Novelisasi dari kehidupan KH Ahmad Dahlan dan perjuangannya mendirikan organisasi keagamaan Muhammadiyah tertutur dengan bahasa yang lugas mudah dimengerti oleh pembaca dari kalangan manapun. Sang penulis, Akmal, yang juga merupakan penulis Imperia dan Nagabonar 2, mengaku hanya menceritakan kehidupan Ahmad Dahlan di masa mudanya saja. Ia yang juga pernah merasakan sekolah di Muhammadiyah mengaku mendapatkan cerita dari skenario Hanung Bramantyo dan melanjutkannya dengan meriset buku-buku ilmiah. Akmal juga mengatakan bahwa keberadaan novel ini sebagai hadiah 1 abad bagi Muhammadiyah.
Selain berbentuk novel, kisah KH. Ahmad Dahlan memang sudah pernah difilmkan dengan judul yang sama, Sang Pencerah. Novel ini termasuk kategori ringan dan inspiratif. Disamping mudah dipahami juga memberikan inspirasi konstruktif yang cocok bagi remaja. Kaum remaja muslim seharusnya dapat menjadikan sosok KH Ahmad Dahlan sebagai salah satu figur yang revolusioner dan berjiwa berani.

• Resentator : Muhammad Rikza Muqtada
• Tentang : Mahasiswa Tafsir Hadits

Alhamdulillah

Tanggal 14 Februari adalah hari special bagi pengurus HMJ TH, bukan untuk merayakan valentine’s day yang tak jelas manfaatnya namun untuk menyusun langkah HMJ TH setahun kedepan. “setahun bukan waktu yang sebentar namun waktu setahun tak akan terasa akan terlewati begitu saja”, begitu kata ketua baru kita M. Rikza Muqtada.
Raker dibuka pukul 08.30 dengan hidmat, kemudian dibuka sambutan dari Sek Jurusan Tafsir Hadits, Bpk. Zainul Adzfar, yang memberi kita semangat, inspirasi dan dukungan baru bagi HMJ TH to GO International. acara kemudian dibuka oleh PD III Fak. Ushuluddin, Bpk. Hasyim Muhammad yang memberi kita PR untuk mengembangkan TH lebih baik lagi.