Hadits Di Kalangan Syi’ah

Posted: Maret 31, 2011 in Jurnal dari Kongkow Tafsir Hadits Walisongo

MEMPERBINCANGKAN KEMBALI WACANA HADIS
DI KALANGAN SYI’AH*
Oleh Muhtarom**

Pendahuluan
Membicarakan wacana hadis di kalangan Syi’ah memang menarik mengingat kelompok ini memiliki karakter khas jika dibandingkan dengan kelompok lainnya, seperti Ahlu Sunnah. Kekhasannya antara lain terletak pada keyakinannya tentang kepemimpinan (imamah) yang pada gilirannya sangat mewarnai dan mempengaruhi konsep-konsep etika religiositas mereka. Begitu juga perihal hadis, walaupun banyak dari kandungan himpunan hadis Syi’ah memiliki kemiripan dengan kandungan himpunan hadis Ahlu Sunnah, namun hadis-hadis Syi’ah tetap memiliki bentuk, gaya, dan bauan yang khas.
Mereka juga memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima al-Sunnah yang berbeda dengan sanad dan sumber Ahlu Sunnah. Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syi’ah Imamiyah memiliki pengertian tersendiri tentang al-Sunnah. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian memunculkan perbedaan antara Ahlu Sunnah dengan mereka dalam persoalan aqidah maupun fikih.
Konsepsi Hadis-Sunnah menurut Syi’ah
Diskursus hadis dalam wacana keilmuan Syi’ah telah mempunyai akar yang panjang dan dilakukan dengan cukup intens. Perhatian mereka terhadap hadis/sunnah, menurut sebagian orang, membuat mereka berhak pula untuk menyandang gelar Ahlu Sunnah wa Syi’ah –namun bukan wa al-Jama’ah.
Dr. Muhammad al-Tîjâni al-Samâwi –seorang Sunni yang kemudian membelot ke Syi’ah, ketika melakukan kajian komparatif antara Sunni dan Syi’ah, memberi judul bukunya al-Syî’ah Hum Ahlu Sunnah. Namun demikian, dalam beberapa hal, metodologi hadis Syi’ah amat berlainan dengan metodologi Ahlu Sunnah. Kajian tentang metodologi hadis dalam Syi’ah Imamiyyah telah menjadi obyek sebuah risalah doktoral di fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar. Pada penghujung tahun 1996, risalah tersebut telah diuji dan dinyatakan lulus.
Hadis/sunnah, secara terminologis, menurut ulama ilmu hadis Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah (sunni) adalah seluruh hal yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik maupun akhlak dan sirah beliau. Sedangkan kepustakaan hadis Syi’ah mencakup semua sabda Rasulullah saw dan dua belas Imam, dari Ali bin Abi Thalib sampai al-Mahdi. Dengan demikian, setelah al-Qur’an, hadis-hadis ini dipandang sebagai himpunan terpenting nash keagamaan bagi kaum Syi’ah. Seperti halnya dalam Ahlu Sunnah, bersama-sama al-Qur’an, hadis-hadis ini juga membentuk dasar semua ilmu keagamaan dalam segi intelektual maupun ibadahnya. Tidak satu pun segi kehidupan dan sejarah kaum Syi’ah yang dapat dimengerti tanpa mempertimbangkan aspek ini.
Yang khas pada himpunan hadis Syi’ah adalah, sungguhpun merupakan bagian dari asas Islam, susunannya merentang selama lebih dari dua abad. Bagi Ahlu Sunnah, hadis merupakan sabda Rasulullah saw. Menggunakan istilah hadis dalam Ahlu Sunnah berarti merujuk hanya kepada sabda Rasulullah saw sedangkan dalam Syi’ah, sungguh pun hadis Nabi dan hadis para Imam dibedakan dengan jelas, keduanya merupakan satu himpunan yang tunggal. Hal ini berarti bahwa dari sudut pandang tertentu, masa kerasulan dilihat oleh Syi’ah sebagai merentang melebihi kelaziman masa para rasul yang relatif singkat dalam berbagai agama.
Mengapa dalam wacana keilmuan Syi’ah perkataan imam-imam (yang ma’shum, menurut mereka) juga bersatus seperti hadis dan diterima seperti al-Qur’an. Hal itu karena, menurut M.H. al-Kâsyif al-Githa, imam atau imamah adalah kedudukan Ilahiah yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya, sesuai dengan ilmu Allah, seperti Allah memilih para nabi. Menurut kaum Syi’ah pula, Allah telah memerintahkan Nabi saw. untuk menunjukkan imam kepada umat dan memerintahkan mereka untuk mengikutinya.
Tampaknya pandangan ini berangkat dari konsepsi Syi’ah tentang imam. Istilah “imam”, sebagaimana digunakan secara teknis dalam Syi’ah, berbeda dengan penggunaan umum istilah itu dalam bahasa Arab, yang berarti “pemimpin”, atau, dalam teori politik Ahlu Sunnah, yang berarti khalifah itu sendiri. Secara teknis dalam Syi’ah, istilah itu merujuk kepada orang yang memiliki dalam dirinya “cahaya Muhammad” (al-nur al-Muhammadi) yang diturunkan melalui Fatimah, putri Rasulullah saw, dan Ali, imam pertama, kepada imam-imam lainnya sampai al-Mahdi. Akibat adanya “cahaya” ini, imam dipandang sebagai “suci” (ma’shum) dan memiliki pengetahuan sempurna tentang tatanan lahiriah maupun batiniah.
Para imam adalah seperti serangkaian cahaya yang memancar dari “Matahari Kenabian” dan tidak pernah terpisah dari “Matahari” itu. Sedangkan “Matahari” itu merupakan asal-usul serangkaian cahaya itu. Apa pun yang mereka katakan berasal dari khazanah kearifan itu karena mereka merupakan suatu rantai dari realitas batiniah Rasulullah saw, maka sebenarnya kata-kata mereka merupakan kata-kata Nabi saw. Itu sebabnya sabda-sabda mereka dipandang oleh Syi’ah sebagai suatu kesinambungan dari sabda-sabda Nabi, tepat seperti cahaya kemaujudan mereka dipandang sebagai kelanjutan cahaya kenabian. Dalam pandangan Syi’ah, keterpisahan sementara para imam dari Nabi saw sama sekali tidak mempengaruhi ikatan zat dan batiniah mereka dengan Nabi saw, ataupun kelanjutan “cahaya kenabian” yang merupakan sumber pengetahuan ilhami Nabi sendiri dan para imam.
Konsepsi metafisikal ini merupakan alasan mengapa kaum Syi’ah menjadikan hadis-hadis para Imam, yang terungkap selama lebih dari dua abad, dengan hadis-hadis Nabi saw itu sendiri sebagai satu keseluruhan tunggal. Hai ini juga yang membedakan antara konsepsi Syi’ah dan Ahlu Sunnah tentang hadis. Sebenarnya kandungan hadis dalam himpunan-himpunan Ahlu Sunnah dan Syi’ah sangat mirip. Walau keduanya menyoroti realitas rohaniah yang sama, tetapi rangkaian perawian yang diterima oleh dua madzhab ini tidaklah sama. Sungguhpun para perawi sabda-sabda Nabi saw berbeda, sebenarnya hadis-hadis yang dicatat oleh sumber Ahlu Sunnah dan Syi’ah banyak sekali persamaannya. Perbedaan utamanya adalah karena Syi’ah berpandangan bahwa para Imam merupakan kelanjutan dari kewujudan Nabi saw dan karena itu sabda-sabda para Imam merupakan pelengkap sabda-sabda Nabi saw. Sementara Ahlu Sunnah tidak berpandangan demikian. Orang-orang yang terlibat pergaulannya dengan Nabi saw dalam menyebarkan ajaran Islam dikenal dengan sebutan sahabat. Di kalangan ahli hadis Sunni, walaupun para sahabat merupakan sumber penting bagi dokumentasi hadis-hadis Nabi, mereka tidak dipandang secara istimewa sampai ke tingkat ma’shum misalnya. Memang mereka diposisikan “agak lebih” dibandingkan dengan perawi generasi sesudahnya, yakni dilihat dari sisi ‘adalah mereka. Di kalangan ahli hadis Sunni dikenal ungkapan al-shahabah kulluhum udul (semua sahabat bersifat ‘adil). Ini artinya dari segi integritas kepribadiannya, semua sahabat dinilai dapat dipercaya, sehingga tidak perlu dilakukan kajian terhadap mereka pada aspek ini. Namun dari sisi ke-dlabith-an mereka, mereka dipandang sama dengan perawi-perawi lain dari semua generasi. Artinya terhadap mereka, para ulama ahli hadis tetap melakukan kajian mengenai dlabith tidaknya mereka.
Dalam banyak hal, hadis-hadis para Imam bukan saja sebagai kelanjutan tetapi juga sebagai pengulas dan penjelas terhadap hadis-hadis Nabi saw, dan sering bertujuan menyingkapkan ajaran-ajaran “mutasyabihah” dalam Islam. Banyak dari hadis-hadis ini, seperti hadis-hadis Nabi saw, membahas segi-segi praktis kehidupan dan syariat. Banyak pula yang membahas metafisika-metafisika murni sebagaimana juga dibahas oleh sebahagian hadis Nabi saw khususnya hadis-hadis qudsi. Di samping itu hadis-hadis lain para Imam juga membahas sudut-sudut ibadah dan menghimpun beberapa do’a termasyhur yang telah diucapkan selama berabad-abad oleh Ahlu Sunnah maupun Syi’ah. Sebahagian hadis itu membahas berbagai ilmu batiniah. Dengan demikian, hadis-hadis itu meliputi masalah-masalah duniawi dalam kehidupan keseharian dan masalah makna kebenaran itu sendiri. Disebabkan oleh sifat hadis-hadis itu dan juga kenyataan bahwa seperti tasawuf, hadis-hadis itu lahir dari dimensi batiniah Islam, maka hadis-hadis itu telah berbaur selama beradab-abad dengan jenis-jenis tertentu tulisan kesufian. Ia juga telah dipandang sebagai esoterisme (kebatinan) Islam oleh kaum sufi, karena para Imam itu dipandang oleh kaum sufi sebagai kutub-kutub rohaniah, pada masa mereka. Mereka lahir dalam silsilah rohaniah berbagai tarekat kesufian dan bahkan tarekat-tarekat yang telah tersebar hanya di kalangan kaum Ahlu Sunnah.
Substansi hadis, khabar dan riwayat-riwayat tersebut, menurut kaum Syi’ah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
Pertama: Khabar dan riwayat yang mengandung petunjuk pembersihan jiwa, akhlak, nasehat dan cara-cara pengobatan penyakit hati dengan muatan berisi ancaman, dan dorongan; atau yang berkaitan dengan tubuh, seperti kesehatan, penyakit, sakit dan pengobatan; juga manfaat buah-buahan, tetumbuhan, pepohonan, air dan batu mulia; atau yang mengandung do’a, zikir, jampi dan keutamaan ayat-ayat; serta semua hal yang disunnahkan, baik dalam pembicaraan, perbuatan, maupun sikap. Itu semua, menurut kaum Syi’ah, bisa dijadikan landasan untuk beramal ibadah, dan tidak perlu mencari tahu apakah sanad dan matannya shahih atau tidak, kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan kepalsuannya.
Kedua: Riwayat yang mengandung hukum syara’ parsial, taklifi atau wadl’i, seperti thaharah, berwudlu, cara shalat, zakat, khumus, jihad dan semua bagian muamalah, transaksi yang diperbolehkan; juga tentang nikah, thalaq, warisan, hudud dan diyat. Semua khabar dan riwayat tersebut tidak boleh langsung dijalankan, namun diberikan kepada faqih yang mujtahid untuk menterjemahkannya. Sedangkan orang awam harus mengikuti mujtahid marji’.
Ketiga: Khabar dan riwayat yang mengandung pokok-pokok aqidah, seperti pengitsbatan al-Khaliq swt., juga tentang hasyr, barzakh, sirâth, mîzân, hisâb dan lain-lain. Khabar dan riwayat seperti ini, yakni yang berkaitan dengan aqidah dan pokok agama, seperti tauhid, ‘adl, nubuwwah, imâmah dan ma’ad, jika sesuai dengan dalil-dalil ‘aqli, urgensi, dan tanda-tanda yang qath’i, maka ia dapat dijalankan, dan tidak perlu menyelidiki sanad, kesahihan dan ketidaksahihannya.
Secara umum, hadis menurut Syi’ah terbagi menjadi dua bagian, mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sebuah jama’ah yang mencapai jumlah yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan salah. Hadis seperti ini adalah hujjah dan harus dijadikan landasan dalam beramal. Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat tawatur, rawi yang meriwayatkannya satu atau lebih. Kemudian, hadis ahad diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu:
1. Sahih, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang penganut Syi’ah Imamiah yang telah diakui ke-‘adalah-annya dan dengan jalan yang sahih.
2. Hasan, yaitu jika rawi yang meriwayatkannya adalah seorang Syi’ah Imamiah yang terpuji, tidak ada seorang pun yang secara jelas mengecamnya atau secara jelas mengakui ke-‘adalah-annya.
3. Muwatstsaq, yaitu jika rawi yang meriwayatkannya bukan Syi’i, namun ia adalah orang yang tsiqat dan terpercaya dalam periwayatan.
4. Dla’if, yaitu hadis yang tidak mempunyai kriteria-kriteria tiga kelompok hadis di atas, seperti misalnya sang rawi tidak menyebutkan seluruh rawi yang meriwayatkan hadis kepadanya.
Hadis sahih adalah hujjah menurut kesepakatan seluruh ulama Syi’ah yang mengatakan bahwa khabar ahad adalah hujjah. Sedangkan hadis muwatstsaq dan hasan, menurut pendapat yang masyhur keduanya adalah hujjah, sedangkan menurut pendapat kedua mengatakan bahwa keduanya tidak dapat dijadikan hujjah. Namun pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa keduanya dapat dijadikan hujjah. Adapun hadis dla’if, menurut kesepakatan seluruh ulama Syi’ah tidak dapat dijadikan hujjah.
Kedudukan Hadis-Sunnah dalam Ajaran Syi’ah
Disebabkan oleh karakter kandungan-kandungannya, hadis-hadis yang bersumber dari Rasulullah saw dan para imam sebagaimana di atas telah mempengaruhi hampir setiap cabang ilmu dalam Syi’ah maupun kehidupan seharian umat Syi’ah. Fiqh Syi’ah mendasarkan dirinya langsung pada himpunan hadis ini di samping al-Quran. Teologi Syi’ah tidak akan dapat dimengeri tanpa mengetahui hadis-hadis ini. Ulasan-ulasan Syi’ah tentang al-Quran banyak tertumpu pada hadis-hadis itu. Begitu juga ilmu-ilmu kealaman seperti sejarah kealaman atau kimia berkembang dari hadis-hadis itu. Hadis-hadis ini telah menjadi sumber renungan tentang tema-tema metafisikal tertinggi selama berabad-abad. Beberapa madzhab metafisikal dan falsafah dalam Islam bersumberkan terutamanya dari hadis-hadis ini. Falsafah keislaman Shadruddin Syirazi (Mulla Shadra) misalnya, sesungguhnya tidak akan dapat dimengeri tanpa merujuk kepada hadis-hadis Syi’ah. Salah satu karya terbesar metafisikal Shadruddin adalah ulasannya yang belum selesai tentang sebahagian dari empat hadis pokok terpenting Syi’ah yaitu al-Kafi oleh al-Kulaini.
Hadis-hadis Rasulullah dan para Imam tentu saja merupakan suatu sumber tetap renungan dan pembahasan oleh ulama-ulama Syi’ah di sepanjang masa. Namun khususnya dalam jangka masa berikut dari sejarah Syi’ah yang bermula dengan Sayyid Haidar Amuli, ulama besar pada masa Safawiyah seperti Mir Damad dan Mulla Shadra hingga kini, hadi-hadis ini telah bertindak sebagai sumber aktual bagi metafisika dan filsafat maupun ilmu-ilmu hukum dan al-Qur’an. Ulasan-ulasan Mulla Shadra, Qadhi Said al-Qummi dan banyak lagi ulasan atau himpunan-himpunan hadis Syi’ah ini merupakan di antara karya-karya besar dalam pemikiran Islam. Akhirnya, falsafah dan teosofi keislaman benar-benar tidak akan dapat dimengerti tanpa merujuk kepada hadis-hadis tersebut.
Sumber-sumber Hadis Syi’ah

Sebagaimana diketahui, di kalangan Sunni berlaku diktum al-shahabah kulluhum ‘udul (semua sahabat Nabi bersifat adil). Artinya mereka dapat diterima dan dipercaya sebagai mata rantai sanad hadis yang menghubungkan kepada Nabi dan sebagai sumber ajaran keagamaan. Namun di kalangan Syi’ah, ketentuan tersebut tidak berlaku. Lantaran Syi’ah mengingkari keabsahan khalifah-khalifah Sunni, maka Abu Bakar dan Umar tidak dapat diterima sebagai sumber ajaran keagamaan yang otoritatif, sekalipun mereka berasal dari sahabat dekat Nabi. Konon, terdapat sebuah hadis ahad dan hukum yang menyatakan bahwa ketinggian otoritas Ali sebagai suatu keniscayaan. Jadi Syi’ah mengelaborasi hadis dan hukum milik mereka sendiri, yang berbeda dengan versi Sunni khususnya dalam hal-hal yang bersifat detail dan dalam hal sanad. Sejumlah hadis mengenai imam, khususnya yang disandarkan kepada Ali dan sejumlah riwayat yang terkandung dalam Nahj al-Balaghah merupakan pokok-pokok ajaran Syi’ah.
Syi’ah hanya menerima hadis yang diriwayatkan oleh Ahlu bait, sebagian sahabat dan Imam-imam mereka saja. Ini berbeda dengan Ahlu Sunnah yang menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh siapa pun di kalangan Ahlu bait dan para sahabat. Hal ini karena dalam pandangan Ahlu Sunnah, Nabi bukan diturunkan untuk keluarganya saja, tapi untuk seluruh manusia. Rasulullah bukan hidup di kalangan keluarganya saja tetapi hidup di tengah-tengah sahabatnya. Artinya sahabat-sahabat juga memperolehi hadis dari Rasulullah, yang tidak diperolehi oleh Ahlul bait.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Syi’ah. Mereka tidak menerima hadis kecuali dari Ahlu bait yang bermula dengan Ali. Tidak termasuk Aisyah, Habsah, Abbas dan Ibnu Abbas r-a. Yang mereka anggap sebagai hadis yang benar tentunya berjumlah sedikit, yaitu sebanyak yang diambil dari Ahlul bait dan hanya beberapa orang sahabat seperti Salman Al Farisi, Miqdad dan lain-lain.
Dalam konteks ini, ‘Abbas ‘Ali al Musawie dalam buku Syubhat Haula Syi’ah membagi sahabat menjadi dua kelompok. Pertama kelompok yang setia dan kedua kelompok yang mereka anggap telah sesat. Yang pertama adalah sahabat-sahabat seperti ‘Ammar bin Yasir, Miqdad dan Abu Dzar al Ghifari. Sedangkan kelompok yang kedua, menurutnya adalah seperti Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Hurairah dan Al Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith.
Dalam buku-buku kaum Syi’ah akan banyak didapati cercaan terhadap sahabat. Cercaan tersebut tidak hanya terbatas pada shigar sahabat, namun juga menimpa dua Syaikhain: Abu Bakar dan ‘Umar ra. Dengan sikap Syi’ah terhadap sahabat seperti itu, maka kaum Syi’ah dalam periwayatan hadis, hanya menerima periwayatan dari sahabat-sahabat yang loyal kepada mereka.
Kitab-kitab Hadis Syi’ah
Dalam kalangan Syi’ah, kitab-kitab hadis yang dijadikan pedoman utama dan -berfungsi seperti kutubal-sittah dalam kalangan sunni- ada sebanyak 4 buah kitab, yaitu:
1. Kitab al-Kâfi. Disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulayni (w.328 H.). Kitab tersebut disusun dalam 20 tahun, menampung sebanyak 16.090 hadis. Di dalamnya sang penyusun menyebutkan sanadnya hingga Nabi saw. Dalam kitab hadis tersebut terdapat hadis shahih, hasan, muwatstsaq dan dla’if . Kitab ini menjadi pegangan utama dalam mazhab Syi’ah dalam mencari hujjah keagamaan. Al-Kafi terdiri dari delapan jilid, dua jilid pertama berisi tentang al-ushul (pokok), lima jilid sesudahnya berbicara tentang al-furu’ (cabang) dan satu jilid terakhir berbicara tentang al-raudlah.
2. Kitab Ma La Yahdluruhu al-Faqih. Disusun oleh al-Shadduq Abi Ja’far Muhammad bin ‘Ali bin Babawaih al-Qummi (w.381 H.). Kitab ini merangkum 9.044 hadis dalam masalah hukum. Hadis dalam kitab ini ada dua jenis, yaitu: mursal dan musnad. Dalam hadis mursal, isnad yang memadai tidak mutlak diperlukan. Para faqih (ulama) Syi’ah mempercayai hadis-hadis jenis ini dengan alasan bahwa perhatian utama penulisnya (Ibn Babawaih) adalah mendokumentasikan fatwa dan aturannya mengenai keotoritatifannya tanpa mengupayakan pengukuhannya oleh kebanyakan ahli hadis. Sementara jenis yang kedua (musnad) memuat rantai periwayatan (isnad) dari ahli bait secara lengkap.
3. Kitab al-Tahdzib. Kitab ini disusun oleh Syaikh Muhammad bin al-Hasan al-Thusi (w.460 H.). Penyusun, dalam penulisan kitab ini mengikuti metode al-Kulayni. Penyusun juga menyebutkan dalam setiap sanad sebuah hakikat atau suatu hukum. Kitab ini merangkum sebanyak 13.095 hadis.
4. Kitab al-Istibshar. Kitab ini juga disusun oleh Muhammad bin Hasan al-Thusi, penyusun kitab al-Tahdzib. Kitab ini merangkum sebanyak 5.511 hadis.
Di bawah derajat keempat kitab ini, terdapat beberapa kitab Jami’ yang besar, antara lain: :
1. Kitab Bihâr al-Anwâr, disusun oleh Baqir al-Majlisi. Terdiri dari dari 26 jilid.
2. Kitab al-Wafi fi ‘Ilmi al-Hadis, disusun oleh Muhsin al-Kasyani. Terdiri dari 14 juz dan ia merupakan kumpulan dari empat kitab hadis.
3. Kitab Tafshil Wasail Syi’ah Ila Tahsil Ahadis Syari’ah, disusun oleh al-Hus al-Syâmi’ al-‘Amili. Susunannya berdasarkan urutan tertib kitab-kitab fiqh dan kitab Jami’ Kabir yang dinamakan Al-Syifa’ fi Ahadis al-Mushthafa. Susunan Muhammad Ridla al-Tabrizi.
4. Kitab Jami’ al-Ahkam. Disusun oleh Muhammad al-Ridla al-Tsairi al Kâdzimi (w.1242 H). Terdiri dalam 25 jilid. Dan terdapat pula kitab-kitab lainnya yang mempunyai derajat di bawah kitab-kitab yang disebutkan di atas. Kitab-kitab tersebut antara lain: Kitab at-Tauhid, kitab ‘Uyun Akhbâr Ridla dan kitab al ‘Amali.
Kaum Syi’ah, juga mengarang kitab-kitab tentang rijal periwayat hadis. Di antara kitab-kitab tersebut, yang telah dicetak antara lain: Kitab al-Rijal, karya Ahmad bin ‘Ali an-Najasyi (w.450 H.), Kitab Rijal karya Syaikh al Thusi, kitab Ma’alim ‘Ulama karya Muhammad bin ‘Ali bin Syahr Asyub (w.588 H.), Kitab Minhâj al-Maqâl karya Mirza Muhammad al Astrabady (w.1.020 H.), Kitab Itqan al-Maqal karya Syaikh Muhammad Thaha Najaf (w.1.323 H.), kitab Rijal al-Kabir karya Syaikh Abdullah al Mumaqmiqani, seorang ulama abad ini, dan kitab lainnya.
Satu yang perlu dicatat, mayoritas hadis Syi’ah merupakan kumpulan periwayatan dari Abu Abdillah Ja’far al-Shadiq. Diriwayatkan bahwa sebanyak 4.000 orang, baik orang biasa ataupun kalangan khawas, telah meriwayatkan hadis dari beliau. Oleh karena itu, Imamiah dinamakan pula sebagai Ja’fariyyah. Mereka berkata bahwa apa yang diriwayatkan dari masa Ali hingga masa Abu Muhammad al Hasan al ‘Askari mencapai 6.000 kitab, 600 dari kitab-kitab tersebut adalah dalam bidang hadis.

Pandangan dan Sikap Syi’ah Terhadap Literatur Hadis
Sikap para ulama Syi’ah dalam memandang dan menyikapi teks-teks hadis mereka sendiri, ternyata berbeda. Secara umum pandangan dan sikap yang berbeda ini terwakili dalam 2 kelompok besar, yaitu al-Ikhbariyyun dan al-Ushuliyyun.
Kelompok al-Ikhbariyyun adalah kelompok Syi’ah Imamiyah yang melarang ijtihad dan mencukupkan diri dengan mengamalkan khabar-khabar(teks-teks hadis) yang terdapat dalam empat kitab hadis mereka; al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, al-Tahdzib dan al-Istibshar. Tidak hanya itu, mereka memandang bahwa apa yang terkandung dalam keempat kitab itu qath’i (berasal dari para imam), dan karena itu, mereka tidak perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang sanadnya. Demikian pula membagi hadis-hadis dalam kitab-kitab itu menjadi shahih, hasan, dla’if, dan sebagainya, sama sekali tidak perlu. Mengapa? Sebab semuanya shahih belaka. Mereka juga menggugurkan dalil ijma’ dan aqli. Ilmu Ushul fiqih tidaklah shahih, karena itu tidak perlu dipelajari. Intinya mereka mencukupkan diri dengan khabar-khabar yang terdapat dalam rujukan utama mereka. Karena itu mereka disebut juga al-Akhbariyah, sebuah penisbatan kepada al-akhbar (khabar-khabar). Tokoh-tokoh kelompok ini di antaranya adalah al-Kulainy (w.329 H) penulis al-Kafy, Ibnu Babawaih al-Qummy (w.382 H), penulis Man La Yahdhuruhu al-Faqih, dan al-Mufid (w. 413 H), penulis Awa’il al-Maqalat.
Sedangkan kelompok al-Ushuliyyun adalah mereka yang memandang perlunya ijtihad, dan bahwa landasan hukum itu terdiri dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ dan dalil aqli. Mereka juga meyakini bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam keempat kitab pegangan itu, sanadnya ada yang shahih, hasan, dan dla’if. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian terhadap sanadnya pada saat akan diamalkan atau dijadikan landasan hukum. Tokoh-tokoh kelompok ini antara lain adalah: al-Thusy (w.460 H), penulis al-Istibshar, al-Murtadha yang dianggap menyusun Nahj al-Balaghah, Muhsin al-Hakim, al-Khu’iy dan al-Khumainy (Khomeni).
Perbedaan ini bahkan sampai pada tingkat keluarnya fatwa keharaman untuk shalat di belakang satu sama lain, dan bahkan saling mengkafirkan satu sama lain. Meskipun keduanya masih termasuk dalam kelompok Imamiyah Itsna Asyariyah. Perpecahan ini diduga memuncak ketika salah seorang ulama hadis mereka, Muhammad Amin al-Astarabady (w.1033H) melemparkan tuduhan dan tikaman kepada kelompok mujtahidin Syi’ah, yang kemudian membuatnya membagi kelompok Syi’ah menjadi Akhbary dan mujtahid. Tidak hanya itu, ia juga memprovokasi pengikutnya untuk menyerang ilmu Ushul fiqih dan mencukupkan diri dengan hadis-hadis mereka.

Munculnya Pembagian Derajat Hadis dan Perhatian Terhadap Sanad di Kalangan Syi’ah

Tampaknya perbedaan antara kelompok al-Ikhbariyyun dan al-Ushuliyyun ini sudah lama terjadi. Namun di era al-Astarabady perbedaan ini berubah menjadi permusuhan yang sangat sengit. Sebagai bukti, pandangan kelompok ¬al-Ushuliyyun kemudian menyebabkan lahirnya ide pembagian hadis menjadi shahih, hasan, muwatstaq, dan dla’if di kalangan Syi’ah. Ulama Syi’ah yang pertama mengeluarkan ide ini adalah Ibnu al-Muthahhir al-Huliyy (w. 726H). Itu artinya, awal mula munculnya pemikiran untuk memberikan penilaianda sebuah hadis di kalangan Syi’ah adalah sekitar abad 7 Hijriyah. Ini bertepatan dengan seranganTaimiyah terhadap Syi’ah Imamiyah dalam bukunya, Minhaj al-Sunnah. Salah satu kritik penting Ibnu Taimiyah adalah rendahnya perhatian dan pengetahuan kaum Syi’ah terhadap ilmu ar-Rijal.
Hal ini diakui sendiri oleh ulama mereka, al-Hurr al-Amily (w. 1104 H). Ia mengakui bahwa penyebab kaum Syi’ah mulai meletakkan istilah shahih, hasan dan dha’if untuk hadis mereka serta memperhatikan pentingnya sanad adalah kritik yang dilontarkan oleh Ahl al-Sunnah kepada mereka.
Bahkan ia sendiri (al-Amily) memastikan bahwa pembagian derajat hadis yang dilakukan oleh Ibnu al-Muthahhir itu sepenuhnya adalah upaya untuk meniru Ahl al-Sunnah. Ia mengatakan,
Mushthalah baru itu sesuai dan sama dengan I’tiqad dan mushthalah orang awam. Bahkan setelah diteliti, memang sepenuhnya diambil dari kitab-kitab mereka.

Penjelasan ini setidaknya menyimpulkan beberapa hal:
Pertama, sanad-sanad yang sekarang kita temukan dalam riwayat-riwayat mereka itu disusun belakangan, lalu kemudian ditempelkan pada tekas-teks hadis yang diambil dari kitab pendahulu mereka.
Kedua, perhatian terhadap kritik sanad di kalangan Syi’ah baru muncul belakangan -setidaknya sejak abad ketujuh Hijriyah-. Itupun muncul demi menjaga madzhab mereka dari kritik Ahl al-Sunnah.
Ketiga, upaya penulisan ilmu mushthalah hadis versi Syi’ah -seperti yang diakui sendiri oleh ulama mereka- sepenuhnya hanya meniru apa yang telah dituliskan oleh orang-orang awam(Ahl al-Sunnah).
Keempat, ini menunjukkan bahwa sejak awal pemunculan Syi’ah hingga abad ketujuh Hijriyah, para ulama Syi’ah menerima sepenuhnya hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab mu’tamad mereka, tanpa melakukan kritik terhadap sanad, apalagi matan.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa jika dibandingkan dengan wacana ilmu hadis di kalangan ahlu sunnah, wacana ilmu hadis di kalangan Syi’ah dapat dibilang jauh terlambat. Di kalangan ahlu sunnah, kritik hadis jauh sudah dimulai pada masa sahabat. Tercatat ada beberapa sahabat yang dikenal sebagai kritikus hadis (khususnya kritik matan), seperti Aisyah ra., Abu Bakar, dan Umar ibn al-Khaththab. Mereka ini tercatat telah menerapkan metode kritik matan) hadis dengan cara menghadapkan matan hadis dengan al-Qur’an, membandingkan dengan riwayat lain atau minta kesaksian seorang saksi.
Selanjutnya, pasca terjadinya fitnah (perang saudara) di tubuh umat Islam pada masa pemerintahan Ali ra, perlunya kritik terhadap riwayat (hadis) semakin dirasakan oleh para ulama ketika itu, khususnya kritik terhadap para periwayat pembawa hadis tersebut. Hal ini misalnya dikatakan oleh Muhammad ibn Sirrin:
“Para ulama ketika itu tidak mensyaratkan periwayat menyebutkan sanad, tetapi ketika terjadi fitnah (salah satu pemicu munculnya hadis palsu) mareka mensyaratkan setiap periwayat menyebutkan sanad ketika menyampaikan hadis sehingga bisa dibedakan mana riwayat yang benar dan mana yang tidak benar.”

Upaya untuk menyelamatkan hadis dari pemalsuan ini terus dilakukan para ulama dengan menyusun berbagai kaidah penelitian hadis. Berbagai kaidah itu berkaitan dengan matan dan sanad hadis. Untuk tujuan itu maka lahirlah berbagai ilmu hadis yang sangat penting kedudukannya dalam upaya penelitian hadis, di antaranya ilmu rijal al-hadis dan ilmu al-jarh wa al-ta’dil.

Penutup
Demikian pembahasan singkat tentang wacana hadis di kalangan Syi’ah. Dari pembahasan tersebut terlihat perbedaan yang cukup menonjol jika dibandingkan dengan wacana hadis di kalangan ahlu sunnah, khususnya yang berkaitan dengan tradisi kritik hadis. Pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan wacana ilmu hadis kalangan Syi’ah, tetapi ingin menegaskan bahwa sebuah wacana ilmu terbuka untuk menerima berbagai kritikan baik yang mendukung maupun melemahkan.

Catatan Akhir:
*Disampaikan dalam Diskusi Dosen jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang pada hari Kamis, 31 Maret 2011.
**Penulis adalah dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Abdul Hayyie al-Kattani, Konsep Hadis dalam Wacana Keilmuan Syi’ah, dalam http://media.isnet.org/ islam/Etc/Kattani
Ibid.
Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 19
S.H. Nasr “Hadis Dan Kedudukannya Dalam Madzhab Syi’ah” untuk pengantar buku “A Shi’ite Anthologi” karya Allamah M.H. Thathabatai terbitan Ansariyan Publication, Qum, 1982; Islam Syi’ah, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Ibid.
Ali ibn Muhammad Ridla ibn Hadi al-Kasyif al-Ghitha, Adwar ‘Ilm al-Fiqh wa Atwaruh (Beirut: tp., 1979); Abdul Hayyie al-Kattani, op. cit.
Dalam tradisi Syi’ah, Imam memiliki otoritas untuk menginterpretasikan wahyu Ilahi secara otoritatif. Apa yang diputuskannya melalui interpretasi dan elaborasi mengikat kaum mukmin. Bahkan interpretasi terhadap wahyu Ilahi oleh Imam dianggap sebagai bagian dari wahyu dan dipandang sebagai bimbingan yang benar yang dibutuhkan oleh umat sepanjang waktu. Baca Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1991), h. 23
SH. Nasr, op. cit., h. 2
Ibid.
Pengertian sahabat adalah orang Islam yang pernah bergaul atau melihat Nabi dan meninggal dalam keadaan muslim. ‘Utsman ibn Abd al-Rahman Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadis (Madinah: al-Maktabat al-Ilmiah, 1972), h. 263-264; Ibn Kasir, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 94-95
Kalangan ulama yang menyatakan tentang ‘adilnya semua sahabat berargumen dengan mendasarkan pada dalil-dalil ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihah Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 161
SH. Nasr, op. cit., h. 2
Abdul Hayyie al-Kattani, op. cit.
Dalam hal ini definisi hadis mutawatir menurut Syi’ah hampir identik dengan kalangan Ahlu Sunnah, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah (banyak) periwayat yang secara adat mustahil mereka bersepakat dusta dari awal sanad hingga akhir sanad. Lihat misalnya Muhammad Ajjaj al-Khatib, op. cit., h. 301; Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 19
Abdul Hayyie al-Kattani, op. cit.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian kesatu & dua, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 177
Al-Kattani, op. cit., h. 4
M. Alfatih Suryadilaga “Kitab al-Kafi al-Kulaini” dalam M. Alfatih Suryadilaga (Editor), Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003), h.313
Abdulaziz A. Sachedina, op. cit., h. 121
Ibid.
Muh. Ikhsan “Metodologi Kritik Hadis dalam Pandangan Syi’ah Imamiyah” Makalah untuk memenuhi tugas matakuliah Metodologi Hadis pada PPS Program Studi Kajian Timur Tengah Dan Islam Kekhususan Kajian Islam Universitas Indonesia 2005, h. 6
Ibid., h. 7
Ibid.
Orang-orang Syi’ah suka menyebut kaum ahlu Sunnah dengan awam (amah).
Sebagaimana dikutip oleh Mukh. Ihsan dalam Ibid.
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis (Beirut Dar al-Fikr, tth.) h. 9
Nur al-Din ‘Itr, al-Madkhal ila ‘Ulum al-Hadis (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiah, 1972), h. 7-12

Tinggalkan komentar